Jumat, 30 Mei 2008

RAPORT MERAH PRODUK TRANSGENIK

Pada tahun 1980-an, produk transgenik disanjung, dipuji, dan dianggap dewa penyelemat umat manusia di muka bumi dalam mengatasi kekurangan pangan dunia. Akan tetapi, generasi sepuluh tahun berikutnya berbicara lain. Pada tahun 1990-an, produk transgenik telah mendapat penolakan dari banyak negara terutama negara-negara Eropa dan Asia. Produk ini telah menjadi monster yang paling menakutkan umat manusia.
Apa itu transgenik? Transgenik adalah suatu proses rekayasa mahluk hidup yang memiliki sifat-sifat lebih unggul (sesuai yang diinginkan) daripada jenis sebelumnya yang tidak memperoleh perlakuan pengkayaan gen (pembawa sifat mahluk hidup) dari mahluk hidup lainnya. Teknologi transgenik adalah teknologi yang merakit suatu individu dengan menyisipkan gen (pembawa sifat tertentu) yang diisolasi dari individu tertentu ke dalam individu lain sehingga diperoleh individu yang diinginkan. Misalnya, gen manusia dimasukan ke dalam babi untuk mendapatkan daging babi yang rendah lemak, atau gen ikan direkayasa ke dalam tomat untuk menciptakan tomat yang tahan beku. Misalnya lagi, gen penghasil susu manusia direkayasa ke dalam sapi untuk menciptakan sapi yang siap memproduksi susu dengan komposisi mirip air susu manusia. Ringkasnya, transgenik merupakan teknologi ”gunting tempel” gen (rantai DNA) untuk menciptakan mahluk hidup yang sesuai dengan yang diinginkan dan tidak pernah ada sebelumnya.
Teknologi transgenik atau rekayasa genetika dikembangkan guna mengatasi berbagai masalah, misalnya merakit varietas baru agar mempunyai sifat-sifat yang menguntungkan (tahan hama, tahan penyakit, tahan kering, mempunyai kandungan tertentu, mempunyai nilai estetika tinggi, produksi tinggi dan lainnya). Bahkan, para ahli bioteknologi dan perusahaan bioteknologi mempromosikan organisme transgenik sebagai produk yang dapat memecahkan masalah kelaparan, penyakit, krisis lingkungan, dan krisis keanekaragaman hayati.

Pertanyaannya, benarkah produk rekayasa genetika tersebut mampu mengatasi permasalahan pangan dan krisis lingkungan hidup? Kelompok Lingkungan GRAIN (1994) mencatat berbagai kasus akibat konsumsi produk bioteknologi terhadap kesehatan dan lingkungan. Ribuan anak di Amerika Serikat mengalami leukimia dan melanoma setelah diberikan hormon pertumbuhan hasil rekayasa genetika, yang sebelumnya hormon tersebut dinyatakan aman. Kasus lainnya adalah pemberian hormon pada sapi di Amerika dan Eropa. Sapi yang diberi hormon bovine growth hormone (BGH) sering sakit-sakitan, meskipun produksi susunya bisa ditingkatkan sampai 20 persen. Akibatnya, Masyarakat Ekonomi Eropa dan AS mengajukan moratorium (penghentian sementara) 7 sampai 15 tahun untuk penggunaan BGH. BGH merupakan hormon tumbuh sapi hasil rekayasa genetik dengan bantuan bakteri.
Dimaklumi, teknologi rekayasa genetika merupakan teknologi yang sangat mahal dan perlu kehati-hatian serta pengujian secara seksama. Akan tetapi, hampir semua produk dari rekayasa genetika belum teruji benar dalam aspek kesehatan. Di Inggris misalnya, sebanyak 500 orang penderita diabetes pingsan setelah menggunakan insulin hasil rekayasa genetika. Akibatnya, para korban telah menuntut perusahaan penghasil insulin itu untuk diadili.
Rissler dan Mellon (1993) dalam Jhamtani (2001) menggambarkan empat kemungkinan resiko akibat pelepasan tanaman transgenik. Pertama, tanaman transgenik dapat berubah menjadi gulma yang akan membanjiri ladang, lahan dan ekosistem. Kedua, tanaman transgenik akan menjadi perantara bagi perpindahan gen-gen baru ke tanaman liar. Ketiga, tanaman transgenik yang direkayasa dengan menyisipkan virus akan memfasilitasi terciptanya virus-virus baru yang dapat menimbulkan penyakit baru pada tanaman pertanian. Keempat, tanaman transgenik yang direkayasa agar mengandung bahan-bahan beracun yang bersifat obat atau pestisida akan membawa resiko bagi mahluk lain, misalnya burung dan hewan-hewan lain. Jhamtani (2001) menambahkan, ancaman paling serius adalah (1) munculnya persaingan dari tanaman rekayasa genetika, dan (2) perpindahan gen baru dari tanaman hasil rekayasa genetika ke tanaman lain melalui perpindahan tepung sari, yang seringkali dinamakan sebagai ’polusi biologi’.
Dalam dunia pertanian, para ilmuwan telah akrab senyawa endotoksin yang dihasilkan oleh bakteri Bacillus thurigniensis (Bt). Senyawa ini diketahui mampu mematikan ulat hama pertanian. Karena itu, tanaman jagung dan tanaman transgenik lainnya yang dimasukan gen endotoksin Bt dapat mengurangi ketergantungan petani terhadap pestisida. Akan tetapi, dokumen rahasia mengungkapkan, Clavabacter xyli (vektor yang digunakan untuk memindahkan gen endotoksin Bt) menyebabkan kekerdilan pada jagung dan ratusan tanaman penting lainnya.
Pada beberapa kasus, komersialisasi tanaman transgenik telah mendorong penggunaan pemusnah serangga lebih banyak sehingga mengancam lingkungan. Kelapa sawit hasil Unilever di Malaysia terbukti memerlukan pestisida enam kali lebih banyak daripada tanaman biasa untuk melindunginya dari hama. Tidak hanya itu, kelapa sawit ini juga ternyata gagal berbunga.
Senada dengan perkiraan Rissler dan Mellon, tanaman transgenik sangat berisiko mengkontaminasi gen tanaman yang masih alami dan dampaknya tidak dapat dipulihkan. Di Mexico, jagung hasil rekayasa genetika yang dibudidayakan telah mencemari varietas jagung lokal. Dengan tiupan angin, serbuk sari dari jagung transgenik dapat terbang ke tempat lain dan menempel pada kepala putik jagung lokal. Sementara itu, penelitian ilmuwan Cina menemukan serbuk sari padi rekayasa genetika dapat terbang sejauh 110 meter dengan kecepatan angin yang tinggi, sehingga berpotensi mencemari padi-padi lokal. Dengan kemampuan terbangnya, padi rekayasa genetika dapat menyebar ke lingkungan lain dan bersilang dengan organisme alami dan di masa yang akan datang dampaknya tidak dapat diperkirakan dan dikendalikan. Padahal, Cina adalah pusat sumber genetika padi terbesar di dunia, lebih dari 75.000 varietas padi ada di sana.
Pendapat ilmuwan Cina ini dikuatkan dengan pendapat Dwi Andreas Santosa, dari Indonesian Center for Biodiversity and Biotechnology. Dia mengungkapkan, dampak atau risiko transgenik dalam jangka panjang sulit dianalisis. Menurutnya juga, tidak seorang ilmuwan pun yang sanggup menyatakan transgenik aman 100 persen. Menurut Jhamtani (2001), pencemaran tanaman transgenik lebih serius daripada pencemaran kimia. Sekali dilepaskan dan berbiak di alam, gen-gen hasil rekayasa ini tidak dapat ditarik kembali dari lingkungan.
Selain kontaminasi gen, komersialisasi tanaman transgenik akan mengurangi keanekaragaman hayati lokal bahkan dunia. Budidaya tanaman transgenik biasanya dilakukan secara monokultur sehingga melenyapkan varietas-varietas lokal yang kaya sumber genetiknya. Kegiatan ini tentunya akan signifikan bagi negara-negara yang memiliki keanekragaman hayati yang sangat tinggi, terutama negara-negara berkembang–termasuk Indonesia.
Pada beberapa negara, tanaman transgenik juga telah menimbulkan kematian hewan ternak yang mengkonsumsi bagian dari tanaman tersebut. Laporan dari India menyebutkan, sedikitnya 1.800 domba mati karena reaksi toksik saat makan sisa-sisa tanaman kapas transgenik di empat desa di negara bagian Andhra Pradesh. Kasus yang sama terjadi juga di Jerman. Beberapa sapi mati setelah makan jagung transgenik produk Syngenta, dan beberapa sapi lainnya terpaksa dipotong karena penyakit yang tidak diketahui.
Ada juga penelitian yang menunjukkan bahwa hewan yang memakan tanaman transgenik telah mengalami gangguan pada sistem organnya. Dr. Arpad Pustzai beserta timnya menemukan, tikus muda yang diberi makan kentang transgenik mengalami kerusakan dalam setiap sistem organ termasuk penebalan dalam lapisan dinding perut. Penebalan lapisan ini dua kali lebih besar dibanding tikus yang tidak diberi makan kentang transgenik. Di Mesir, para ilmuwan juga menemukan dampak serupa pada tikus yang diberi makan kentang transgenik jenis lain. Di Amerika Serikat, data yang dikumpulkan sejak tahun 1990an oleh Badan Makanan dan Obat AS (USDA) menunjukkan, tikus yang diberi makanan tomat transgenik mengembangkan lubang dalam perut hewan tersebut. Tidak hanya itu, studi yang dilakukan Monsanto menunjukkan, konsumsi jagung transgenik telah menimbulkan abnormalitas ginjal dan darah yang sangat serius. Monsanto merupakan produser produk transgenik terbesar di dunia.
Penemuan lainnya menunjukkan, produk transgenik dapat mengancam keturunan mahluk hidup. Tanaman transgenik yang dikonsumsikan kepada induk hewan telah menghambat pertumbuhan keturunan dari hewan tersebut bahkan menjadi rentan terhadap kematian. Dr Irina Ermakova dari Academy of Science Rusia memaparkan, sebanyak 36 persen tikus yang lahir dari induk yang diberi makan kedelai transgenik, pertumbuhannya amat terhambat dibandingkan dengan 6 persen tikus yang lahir dari induk yang diberi makan kedelai non-transgenik. Selanjutnya, dalam tiga minggu, sebanyak 55,6 persen anak dari tikus yang diberi makan kedelai transgenik mati. Tingkat kematian ini mencapai enam hingga delapan kali kematian anak dari tikus yang diberi makan kedelai non-transgenik. Selama tiga kali eksperimen, Ermakova dan timnya selalu mendapatkan hasil yang hampir sama.
Melengkapi penemuan Dr. Irina Ermakova, ternyata, tingginya resiko kematian terjadi juga pada hewan yang langsung mengkonsumsi produk transgenik. Studi yang dilakukan perusahaan Aventis menunjukkan, ayam yang diberi makan jagung transgenik tahan glufosinat mempunyai kemungkinan mati dua kali lipat dibandingkan tikus kontrol.
Penelitian di Canberra, Australia, melaporkan, sebuah protein yang tidak berbahaya dalam kacang ketika ditransfer atau disisipkan ke kacang kapri menyebabkan inflamasi pada paru-paru tikus dan merangsang reaksi pada protein lain di dalam. Ini terjadi karena protein transgenik diolah secara berbeda di dalam spesies asing, sehingga mengubah protein biasa menjadi imunogen yang kuat (Jhamtani, 2006).
Selanjutnya, para ilmuwan dari Universitas Urbino, Perugia dan Pavia di Italia juga menemukan pengaruh negatif lainnya akibat mengkonsumsi produk transgenik ini. Tikus yang diberi makan kedelai transgenik mengalami perubahan yang signifikan dalam sel pankreas dan hati. Kemudian mereka membandingkannya dengan kontrol. Beberapa kontrol dibalik, yaitu makanannya diubah dari kedelai transgenik ke kedelai non-transgenik. Hasilnya juga terjadi penurunan dalam transkripsi pada sel-sel testis (organ kelamin jantan) dalam tikus muda yang diberi makan kedelai transgenik dibandingkan dengan yang makan kedelai non-transgenik.
Sebagaimana hasil penelitian pada hewan, produk transgenik ini telah menyerang kekebalan tubuh manusia, bahkan pada beberapa kasus telah menimbulkan kematian. Administrasi Pangan dan Obat-Obatan Terlarang (Food and Drug Administration atau FDA) dan ilmuwan lainnya di Amerika Serikat memperingatkan, makanan transgenik dapat menimbulkan alergi makanan tak terduga, menciptakan racun dalam makanan dan mempercepat penyebaran penyakit tahan antibiotika.
Berkaitan dengan alergi makanan yang tidak diduga sebelumnya, ilmuwan Australia sempat dikejutkan oleh kasus tersebut. Mereka menemukan, gen buncis yang direkayasa ke dalam tanaman kacang polong ternyata dapat menimbulkan bahaya alergi bagi yang mengkonsumsinya. Tidak hanya kacang polong transgenik, menurut penasehat hukum ilmiah Environmental Protection Agency (EPA), jagung transgenik juga dapat memicu alergi pada manusia.
Selanjutnya, temuan lainnya yang tidak kalah penting datang dari India dan Filipina. Di negara bagian Madhya Pradesh, ratusan petani yang menangani kapas transgenik Bt jatuh sakit dengan gejala alergi. Sementara itu, kematian penduduk pada tahun 2003 di Mindanau Selatan, Filipina, juga terkait dengan jagung transgenik yang dikembangkan di daerah tersebut. Antibodi terhadap protein Bt dalam jagung ditemukan pada darah penduduk desa tersebut. Sedikitnya, ada lima orang yang mati pada kasus ini. Menurut Jhamtani (2006) hampir semua protein transgenik melibatkan transfer gen ke spesies asing, kemudian protein itu akan mengalami pengolahan yang berbeda. Oleh karena itu, semua protein transgenik bisa menimbulkan reaksi kekebalan yang serius termasuk alergi. Hal ini tentu relevan dengan kejadian sakit dan kematian yang terkait dengan tanaman transgenik.
Selain bukti-bukti di atas masih ada sederatan bukti lainnya atas kegagalan produk bioteknologi atau rekayasa genetika. Sebut saja, Perusahaan Pioner Hibreed International. Perusahaan ini telah merekayasa kacang kedelai dengan cara memasukan gen kacang Brazil. Tujuan rekayasanya adalah menghasilkan kedelai yang lebih bergizi karena gen tersebut mampu mengkode asam amino methionin. Sayangnya, ketika diuji oleh seorang ahli pangan, kedelai tersebut terbukti membawa sifat alergi yang sangat berbahaya jika dikonsumsi oleh orang yang peka terhadap kacang Brazil.
Kasus kegagalan lainnya adalah tomat flavr savr yang direkayasa agar proses pematangannya lambat sehingga mempermudah transportasi dan penyimpanan. Nyatanya, tomat ini belum dapat diproduksi dalam skala industri karena tidak tahan terhadap tekanan pemetikan, pengepakan dan trasportasi. Kulit tomatnya amat tipis sehingga pemetikan harus dilakukan secara manual dan sangat hati-hati agar kulitnya tidak rusak. Kenyataan ini memaksa perusahaan membangun pabrik penglolahan di dekat ladang tomat. Ini menandakan janji distribusi luas tomat tanpa mengalami pembusukan belum dapat dibuktikan (Jhamtani, 2001).
Kegagalan juga terjadi pada pepaya transgenik yang dikembangkan di Hawai. Data statistik dari Departemen Pertanian Amerika Serikat menyebutkan, pada dekade 1995, pendapatan kotor hasil panen pepaya segara Hawaii lebih dari US$ 22 juta (sekitar Rp 198 milyar). Setelah beralih pada pepaya transgenik, pendapatan menurun lebih dari setengahnya. Di tahun 1997, sebelum pepaya transgenik tahan virus ringspot dijual, petani menerima rata-rata $ 1,23 per kilogram (sekitar Rp 11.070 per kilogram). Di Tahun 1998, nilai itu turun sampai $ 0,89 (sekitar Rp 8.010). Ini terjadi karena pembeli pepaya tradisional Hawaii, seperti Jepang dan Canada menolak buah-buahan transgenik. Karena itu, tidaklah heran, jika laporan Greenpeace menyimpulkan bahwa pepaya transgenik yang dikembangkan di Hawaii sejak 1998 telah gagal secara komersial dan berprospek suram (Purwati, 2006).
Dari sektor non pangan, kapas transgenik telah menambah daftar kegagalan bioteknologi. Sekitar 20.000 hektar tanaman kapas transgenik Monsanto rusak akibat serangan hama bolloworm (Helicoverpa zea). Padahal, Monsanto merekayasa kapas dengan DNA dari Bacillus thuringiensis agar kapas tersebut tahan terhadap bolloworm. Saat mempromosikan, Monsanto menjanjikan perlindungan sepanjang musim kepada para petani kapas yang harus membayar 79 dollar AS per hektar sebagai biaya teknologi, selain biaya pembelian benih transgenik. Dengan kegagalan ini, para petani telah menuntut Monsanto ke pengadilan.
Karena efek bahayanya banyak masyarakat di berbagai negara (terutama negara maju) menolak daerahnya dijadikan lahan pelepasan organisme transgenik. Hal ini menyebabkan pelepasan organisme transgenik terkadang dilakukan secara diam-diam tanpa meminta ijin dari negara bersangkutan. Adanya tindakan diam-diam itu, banyak negara yang telah kecolongan terhadap penyebaran produk-produk transgenik. Negara Cina misalnya. Pada saat negara ini masih mengkaji ijin komersialisasi padi transgenik, Greenpeace pada tahun 2005 melaporkan telah terjadi penjualan secara ilegal padi transgenik. Satu tahun sebelum terjadi di Cina, penjualan organisme transgenik secara illegal juga telah terjadi di Thailand. Pada Tahun 2004, Greenpeace mengungkapkan bahwa pusat penelitian Departemen Pertanian Thailand telah melakukan distribusi benih pepaya yang terkontaminasi transgenik secara illegal kepada 2.669 petani di 37 propinsi. Ini merupakan hal yang ironis karena Departemen Pertanian seharunsya melakukan karantina organisme transgenik, bukan malah mengedarakannya.
Jangan kaget, pangan transgenik juga telah lolos dan banyak beredar di Indonesia. Di Indonesia, peredaran pangan transgenik ini salah satunya sudah dalam bentuk produk makanan yang siap konsumsi. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pada tahun 2006 telah membuktikannya melalui tiga kali pengujian. Produk makanan yang positif mengandung transgenik diantaranya beberapa produk turunan kedelai, jagung dan kentang. Menurut lembaga ini, bukan hanya produk tidak bermerk seperti tahu dan tempe yang positif transgenik, tetapi sejumlah produk pangan bermerk juga terbukti positif mengandung transgenik. Produk-produk tersebut adalah keripik kentang merk ’Pringleys’, kripik kentang merk ’Master Potato’, Corn flakes merk ’Petales De Mais Carrefour’, tepung jagung merk ’Honig Maizena Spesial’, dan Soy Infant Formula merk ’Nutrilon Soya’.
Dengan melihat beberapa bukti sebagaimana di atas, ternyata, janji perusahaan bioteknologi dapat mengatasi krisis pangan dan krisis lingkungan/keanekargaman hayati belum dapat dipenuhi alias lebih banyak gagalnya. Bahkan, para perusahaan bioteknologi/rekayasa genetika telah melakukan kecurangan-kecurangan seperti melalui perdagangan illegal. Ditengah-tengah kegagalannya, mengapa perusahaan tansgenik tetap ngotot untuk mendapat pengakuan dari masyarakat internasional? Hak paten. Dengan penemuan bioteknologinya, mereka mengincar hak paten atas mahluk hidup. Dengan hak paten, perusahaan-perushaan transnasional yang bergerak di bidang bioteknologi akan memonopoli atas hasil-hasil penemuannya.
Ada dua catatan sebelum penulis mengakhiri tulisan ini. Pertama, Indonesia merupakan salah satu negara yang mengembangkan produk-produk transgenik, salah satunya adalah kacang kedelai. Kedua, penemuan YLKI menunjukkan, beberapa produk turunan kedelai yang beredar di pasar positif transgenik. Karena itu, tidak ada jaminan bahwa tempe yang sehari-hari kita makan dan dikatakan menyehatkan ini bukan berasal dari kedelai transgenik.

Rabu, 28 Mei 2008

BBM (Bensin Beuki Mahal)

"Gara-gara BBM naek, penumpang jadi sepi jang" kata seorang supir kepada saya yang kebetulan sedang duduk di sampingnya. "muhun pak" jawab saya, singkat. "Padahal, pun anak anu kelas 3 SMP kudu mayar uang perpisahaan sebesar 30.000 ribu rupiah. Mun kieu wae, kumaha keur yumponan kabutuhan budak" tambahnya lagi.
Ungkapan seperti di atas merupakan gambaran umum akibat meningkatnya harga BBM. Memang, bagi pemerintah, peningkatan harga BBM merupakan salah satu bentuk solusi untuk mengatasi perekonomian negara. Sebaliknya, bagi masyarakat (baca rakyat kecil), peningkatan BBM bukanlah sebuah solusi. Bagi rakyat kecil, peningkatan BBM adalah sebuah musibah, bahkan kiamat. Kenapa tidak, peningkatan BBM telah memberikan konsekuensi pada meningkatnya harga kebutuhan sehari-hari.
Bagaimana dengan Bantuan Langsung Tunai (BLT)? Pemberian BLT juga tampaknya bukanlah sebuah solusi. BLT yang besarnya 100 ribu perak per bulan tidak mampu mengimbangi melonjaknya harga-harga kebutuhan sehari-hari. Sebab, peningkatan biaya yang harus dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan selama satu bulan akan lebih besar dari 100 ribu perak. Jadi, pemberian BLT jauh di bawah nilai kecukupan.
Ketimbang dibagikan, mendingan uang tersebut digunakan atau disalurkan untuk biaya pendidikan atau biaya pelatihan bagi masyarakat. Dengan meningkatnya tingkat pendidikan anak bangsa dan keahlian masyarakat luas diharapkan akan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia. Pada akhirnya, dengan bekal ilmu pengetahuan dan keahlian, masyarakat kita akan tahan banting kendatipun harus menghadapi meningkatnya harga BBM.

Selasa, 27 Mei 2008

AGAR ECENG GONDOK TIDAK BIKIN GONDOK

Oleh:
Toto Supartono
Pendahuluan
Eceng gondok yang memiliki nama ilmiah Eichornia crassipes merupakan tumbuhan air dan lebih sering dianggap sebagai tumbuhan pengganggu perairan. Eceng gondok memiliki tingkat pertumbuhan yang sangat cepat. Dalam tempo 3–4 bulan saja, eceng gondok mampu menutupi lebih dar 70% permukaan danau. Cepatnya pertumbuhan eceng gondok dan tingginya daya tahan hidup menjadikan tumbuhan ini sangat sulit diberantas. Pada beberapa negara, pemberantasan eceng gondok secara mekanik, kimia dan biologi tidak pernah memberikan hasil yang optimal. Ada juga hasil penelitian yang menunjukkan bahwa eceng gondok berpotensi menghilangkan air permukaan sampai 4 kali lipat jika dibandingkan dengan permukaan terbuka. Pertumbuhan populasi eceng gondok yang tidak terkendali menyebabkan pendangkalan ekosistem perairan dan tertutupnya sungai serta danau.
Selain sisi gelapnya, tumbuhan yang aslinya berasal dari Brazil ini juga ternyata memiliki sisi terangnya. Beberapa penelitian menunjukkan, eceng gondok dapat menetralisir logam berat yang terkandung dalam air. Pada beberapa daerah, eceng gondok bermanfaat sebagai bahan baku kerajinan tangan. Karena kandungan seratnya yang tinggi, eceng gondok bahkan dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku industri. Di Thailand, eceng gondok sudah menjadi komoditi petani, dibuat plot-plot seperti pencetakan sawah-sawah di Jawa. Di negara gajah putih ini, eceng gondok juga telah menjadi bahan baku industri kerajinan rakyat.

Pengolah Limbah Domestik
Dari berbagai hasil penelitian, eceng gondok terbukti mampu menyerap zat kimia baik yang berasal dari limbah industri maupun rumah tangga (domestik). Karena kemampuannya itu, eceng gondok dapat dimanfaatkan untuk mengolah limbah kedua sumber tersebut (industri dan rumah tangga) secara biologi.
Salah satu gambaran untuk mengetahui kemampuan eceng gondok dalam mengelola limbah domestik adalah hasil penelitian Djaenudin (2006). Pada penelitian ini, air yang digunakan berasal dari pembuangan air limbah domestik Desa Tlogomas, Kotamadya Malang, Provinsi Jawa Timur. Air limbah ini ditambung dalam sebuah reaktor dengan volume 58,8 meter kubik, ketebalan dinding dan alas berbeton mencapai 20 cm. Reaktor ini dilengkapi dengan inlet (tempat masuknya air) dan inlet (tempat keluarnya air). Bagian dasar reaktor diisi dengan kerikil (berdiameter antara 3-4 mm) hingga terisi tiga perempat dari kedalaman reaktor. Eceng gondok ditanam seluas setengahnya dari luas permukaan reaktor. Lama penyimapanan air dalam reaktor adalah 3,17 hari.
Penelitian tersebut memperoleh hasil sebagai berikut: nilai TSS (total padatan terlarut) outlet rata-rata 180 mg/l, sudah di bawah nilai baku mutu yang dipersyaratkan yaitu 200 mg/l. Nilai rata-rata efisiensi pengolahan TSS 31,7. Nilai Total-P outlet rata-rata 0,8 mg/l, masih di atas nilai baku mutu yang dipersyaratkan yaitu 0,1 mg/l. Nilai rata-rata efisiensi pengolahan Total-P 42,64. Nilai Total-N outlet rata-rata 32,5 mg/l, masih di atas nilai baku mutu yang dipersyaratkan yaitu 20 mg/l. Nilai rata-rata efisiensi pengolahan Total-N 52,13 Nilai COD outlet rata-rata 225 mg/l, masih berada di atas nilai baku mutu yang dipersyaratkan yaitu 100 mg/l. Nilai rata-rata efisiensi pengolahan COD 42,1. Nilai pH air limbah tidak mengalami perubahan secara berarti yaitu berkisar antar nilai 6 dan 8. Penggantian tanaman sebaiknya dilakukan sebulan sekali. Meskipun hampir sebagian besar parameter yang diamati masih berada di atas baku mutu yang dipersyaratkan, eceng gondok telah mampu mengurangi kandungan zat-zat pencemar dalam perairan. Dengan demikian, untuk mengembalikan kualitas air, pengolahan secara biologi ini harus dilakukan secara berulang.

Penyerap Logam Berat
Dewasa ini, pencemaran logam berat merupakan salah satu permasalahan yang banyak dihadapi oleh ekosistem perairan. Umumnya, upaya penanganan pencemaran logam berat memerlukan biaya yang cukup mahal. Namun, eceng gondok menawarkan pemecahan masalah tersebut dengan biaya yang cukup murah. Beberapa logam berat yang sering mencemari ekosistem perairan diantaranya Fe, Mg, Mn, Pb, dan Ni.
Menurut Widyanto dan Suselo (1977), kemampuan eceng gondok dalam menyerap logam berat tergantung pada beberapa hal, seperti jenis logam berat dan umur gulma. Penyerapan logam berat per satuan berat kering tersebut lebih tinggi pada umur muda daripada umur tua. Logam berat beracun yang dapat diserap oleh eceng gondok terhadap berat keringnya adalah Cd (1,35 mg/g), Hg (1,77 mg/g), dan Ni (1,16 mg/g) dengan larutan yang masing-masing mengandung logam berat sebesar 3 ppm. Muramoto dan Oki (1983) mengungkapkan, eceng gondok mampu menyerap logam berat Cd sebesar 1,24 mg/g; Pb sebesar 1,93 mg/g; dan Hg sebesar 0,98 mg/g terhadap berat keringnya yang ditumbuhkan dalam media yang mengandung logam berat 1 ppm. Sementara itu, hasil percobaan Chigbo et al. (1980) menunjukkan, Hg dan As yang mampu diserap oleh logam berat masing-masing sebesar 2,23 dan 3,28 mg/g dari berat keringnya.
Berdasarkan bagian tanamannya, logam berat yang terserap lebih banyak berkumpul di akar daripada di bagian lainnya. Misalnya hasil penelitian Jana dan Das (2003) untuk penyerapan Cd. Pada bagian akar, konsentrasi Cd berkisar 125 – 152 mikrogram per gram berat kering akar, dan pada bagian daun sebesar 21 – 63 mikrogram per gram berat kering daun.
Selanjutnya, eceng gondok juga ternyata mampu menyerap uranium yang terlarut dalam perairan. Menurut Yatim (1991), uranium yang diserap dan terakumulasi pada akar sekitar 40 – 60%, dan dapat terlepas pada pembilasan. Hasil penelitian selanjutnya menunjukkan, tingkat penyerapan uranium oleh eceng gondok dipengaruhi pH, kadar nutrisi larutan dan berat awal eceng gondok. Pada pH yang lebih rendah, penyerapan uranium oleh eceng gondok lebih banyak karena pada kondisi pH ini uranium terdapat dalam bentuk ion uranil yang stabil dan mempunyai ukuran ion yang lebih kecil.
Uranium juga lebih banyak diserap oleh eceng gondok yang memiliki massa lebih besar. Ini karena eceng gondok yang lebih berat mempunyai permukaan akar yang lebih luas. Akan tetapi, pada larutan nutrisi yang lebih pekat, penyerapan uranium oleh eceng gondok cenderung berkurang. Ini karena adanya peningkatan kompetisi antara penyerapan uranium dengan penyerapan unsur nutrisi oleh tanaman. Pada larutan Hoagland 10% dengan pH 5 dan kandungan uranium 8 – 12 ppm, kapisitas penyerapan uranium dalam kondisi maksimal, yakni berkisar antara 500 - 600 µg per gram berat kering eceng gondok setelah 10 - 12 hari. Pada kondisi ini, laju pertumbuhan eceng gondok sekitar 3% berat kering per hari. Pada larutan limbah, kapasitas eceng gondok menyerap uranium sekitar 200 µg per gram berat kering tanaman setelah 8 hari laju, dan laju pertumbuhannya mencapai 2 % berat kering per hari.
Pada populasi 1 ha, kapasitas eceng gondok menyerap uranium (dengan tetap memperhatikan pertumbuhannya) sekitar 2,16 kg (pada larutan Hoagland) dan 0,98 kg (pada larutan limbah). Dengan memperhitungkan fraksi uranium yang terbilas, pengurangan uranium dari larutan Hoagland dan limbah masing-masing sekitar 3, 16 dan 1,76 kg. Dengan demikian, eceng gondok mempunyai potensi dimanfaatkan sebagai kolektor uranium.

Bahan Baku Pulp dan Kertas
Di saat sedang menurunnya pasokan kayu tropis dan meningkatnya kerusakan hutan, eceng gondok dapat dijadikan sebagai penyedia bahan baku pulp yang bernilai ekonomis. Menurut Patt (1992), proses pulping kimia masih dianggap menguntungkan secara ekonomis apabila nilai rendemen tersaring di atas 40% dan bilangan Kappa dibawah 25. Hasil penelitian Supriyanto dan Muladi (1999) menunjukkan, rendemen tersaring pulp eceng gondok sekitar 44,28% dan bilangan Kappa sebesar 16,55. Sementara itu, sifat fisika dan mekanika kertas yang dihasilkan pada nilai interpolasi derajat giling 40ºSR meliputi: kerapatan kertas sebesar 0,993%, kekuatan tarik sebesar 4060 m, kekuatan retak sebesar 338 kPa dan kekuatan sobek sebesar 346 mN. Berdasarkan data tersebut, maka kualitas pulp dan kertas dari eceng gondok menurut standar tergolong dalam kelas kualita II. Dengan demikian, eceng gondok memiliki prospek sebagai bahan baku kertas yang bernilai ekonomis cukup tinggi.

Bahan Baku Pupuk Organik
Dalam industri pupuk alternatif, eceng gondok juga dapat dijadikan sebagai bahan baku pupuk organik. Ini karena mengandung N, P, K, dan bahan organik yang cukup tinggi. Daerah yang sudah mengembangkan pabrik pupuk berbahanbaku eceng gondok adalah Kabupaten Lamongan. Ketika pertama kali berproduksi ditahun 2001 pabrik pupuk eceng gondok mempunyai kapasitas produksi 5-7 ton sehari. Kini setelah ada penambahan mesin baru maka kapasitas produksi ditingkatkan hingga mencapai 15 ton sehari. Pupuk organik yang dihasilkan dari pabrik ini diberi nama Pupuk Maharani.
Untuk mendapatkan pupuk organik yang berstandar internasional, pupuk ini diberi campuran bahan lainnya. Bahan tersebut adalah kotoran binatang (ayam, sapi atau lembu) serta ramuan enrichment yang diperoleh dari pengkomposan. Enrichment adalah sebuah formula khusus agar kadar standar organiknya tercapai. Berdasarkan hasil uji laboratorium, pupuk ini memiliki kandungan unsur hara N sebesar 1,86%; P205 sebesar 1,2%; K20 sebesar 0,7%; C/N ratio sebesar 6,18%; bahan organik seebsar 25,16% serta C organik:19,81. Dengan kandungan seperti ini, pupuk dari eceng gondok mampu menggantikan pupuk anorganik,dan dapat mengurangi penggunaan bahan kimia hingga 50% dari dosisnya. Sebagai bahan perbandingan, Winarno (1993) menyebutkan, eceng gondok dalam keadaan segar memiliki komposisi bahan organic 36,59%, C organic 21,23% N total 0,28%, P total 0,0011% dan K total 0,016%.
Penggunaan pupuk organik berbahan baku eceng gondok memberikan hasil yang sangat menggembirakan. Anakan (percabangan) dari tiap batang lebih banyak dibandingkan awalnya. Dengan tambahan pupuk Maharani, diperoleh 18-20 anakan padi. Sedangkan dengan urea, hanya diperoleh 14-16 anakan padi. Tanaman yang diberi tambahan pupuk organik juga memiliki warna daun merata hijau. Sementara itu, tanaman yang diberi urea, awalnya memiliki daun berwarna hijau tapi lama kelamaan kekuningan. Tidak hanya itu, tanaman padi yang diberi tambahan pupuk organik ini memiliki batang yang lebih kuat dari tiupan angin dan tampilan fisiknya lebih tegak.
Hasil yang memuaskan tidak hanya berupa tampilan fisik, melainkan juga berupa produksi dan biaya yang dikeluarkan. Penggunaan pupuk organik telah meningkatkan produksi gabah rata-rata 500 kg tiap hektarnya. Dari segi biaya, penggunaan pupuk organik menghasilkan efisiensi pupuk Rp. 265.000/ha/panen. Sebab, dengan menggunakan pupuk anorganik, rata-rata biaya yang dibutuhkan sebesar Rp 900.000 per hektar. Sedangkan dengan tambahan pupuk organik, biaya yang dibutuhkan sebesar Rp 635.000 per hektar. Komposisi pemberian pupuk tiap 1 hektare sawah padi terdiri atas 500 kg pupuk organik dan 150 kg urea, tanpa tambahan KCL (Siagian, 2006).

Sumber Pakan Ternak dan Ikan
Sebagaimana tanaman lainnya, eceng gondok dapat dijadikan pakan ternak. Karena tingginya kandungan serat kasar, eceng gondok harus diolah terlebih dahulu. Salah satu teknik pengolahannya adalah melalui teknologi fermentasi. Pada proses ini, eceng gondok diolah menjadi tepung, kemudian difermentasi secara padat dengan menggunakan campuran mineral dan mikroba Trichoderma harzianum yang dilakukan selama 4 hari pada suhu ruang.
Proses fermentasi ini mampu meningkatkan nilai gizi yang terkandung dalam eceng gondok. Protein kasar meningkat sebesar 61,81% (6,31 ke 10,21%) dan serat kasar turun 18% (dari 26,61 ke 21,82%). Pada saat dikonsumsikan pada ayam, eceng gondok fermentasi tidak menimbulkan pengaruh yang berbeda secara nyata terhadap konsumsi, bobot hidup, konversi pakan, persentase karkas, lemak abdomen dan bobot organ pencernaan (proventrikulus dan ventrikulus), meskipun terdapat kecendrungan penurunan nilai gizi pada peningkatan produk fermentasi eceng gondok. Karena itu, eceng gondok fermentasi dapat dicampurkan sampai tingkat 15% dalam ransum ayam pedaging (Mahmilia, 2005).
Pada penelitian lain, daun eceng gondok dapat dimanfaatkan sebagai pakan pelet tepung untuk budidaya ikan, meski tidak sebaik pelet komersil. Ikan yang digunakan pada penelitian ini adalah jenis nila. Pemeliharaan dilakukan selama 8 minggu dengan perlakuan pellet bertepung daun eceng gondok 10%; 20%; 30%; dan pembanding (tanpa campuran pelet tepung). Hasil penelitian menunjukan bahwa pemberian pellet betepung daun eceng gondok 10% memberikan pengaruh terbaik bagi pertumbuhan nisbi (193,25%), nilai efisiensi pakan (40,31%). Akan tetapi, pemberian pellet komersil sebagai pembanding masih lebih baik dibandingkan dengan pemberian pellet bertepung daun eceng gondok, baik pertumbuhan nisbi maupun nilai efisiensi pakan (Timburas, 2000).

Bahan Baku Kerajinan Tangan
Di tangan orang-orang kreatif, membludaknya populasi eceng gondok bukanlah sebuah musibah melainkan sebuah anugrah. Di tangan orang-orang kreatif inilah, eceng gondok dapat disulap menjadi benda-benda yang sangat menarik dan berdayaguna, seperti sandal jepit, tas cantik, kursi, dan lain-lain.
Pemandangan tangan-tangan kreatif dalam mengubah eceng gondok bisa disaksikan di Dusun Pengaron, Desa Pengumbulandi Tikungan, Kabupaten Lamongan. Menjelang matahari terbenam, di pinggir jendela sebagian besar rumah di sana, jari-jari lentik perempuan muda dengan lincah menganyam helai demi helai serat eceng gondok. Dengan ulet dan terampil, mereka menyulap helayan eceng gondok kering menjadi sebuah tas. Dalam sehari, rata-rata setiap orangnya mampu menyelesaikan lima tas anyaman. Setiap satu tas ia mendapat upah Rp 2.250 hingga 4.000. Dengan demikian, penghasilannya mencapai Rp 500.000 per bulannya.
Tas-tas yang sudah tersebut ditampung pada seorang pengusaha. Dalam sebulan, tas yang terkumpul bisa mencapai 1.500-2.000 tas. Kemudian, tas-tas tersebut dikirim ke department store terkenal seperti, Sarinah Thamrin di Jakarta, berbagai art shop di Bali dan Surabaya. Tidak hanya itu, tas-tas itu juga sudah diekspor ke beberapa negara seperti Taiwan dan Malaysia. Setiap bulannya, sekitar 1.600 tas ke dua negara itu dan umumnya dijual dengan harga minimal Rp 15.000.
Tidak diragukan lagi, eceng gondok berpotensi meningkatkan pendapatan masyarakat. Tidak hanya pengrajin, tambahan pendapatan ini juga dapat dirasakan oleh para pengumpul eceng gondok dari rawa-rawa, sungai, atau waduk. Misalnya di Kabupaten Simalungun, eceng gondok basah dihargai Rp 200 per kilogram dan eceng gondok kering Rp 6.000 per kilogram (Malau, 2006). Selain dijadikan tas, di Simalungun ini, eceng gondok dijadikan juga sebagai sandal, baki, topi, dan barang-barang lainnya, kemudian dia jual di hotel-hotel dan lokasi pariwisata Prapat.
Kisah sukses pengrajin eceng gondok lainnya yang patut ditiru adalah bernama Lita. Dia seorang pengusaha wanita dari Surabaya. Karena berkreatif memanfaatkan produk yang ramah lingkungan itu, pada tahun 2000, dia pernah mendapat hadiah kalpataru lingkungan. Pada awal usahanya, dia hanya membuat aksesoris rumah seperti, tempat koran, tempat pinsil, tempat sampah, tas, tempat tisu, dan souvenir kecil lainya. Pada perkembangan berikutnya, wanita yang telah memiliki 150 karyawan ini mulai mengembangkan bentuk meubel seperti sofa, meja, dan produk lainnya. Karena bentuknya yang unik, produk-produk tersebut banyak diminati dan diekspor ke Jepang, Italia, Kuala Lumpur, Belanda, dan Eropa dengan harga yang cukup tinggi per unitnya. Sofa, misalnya, dapat dihargai Rp 4 – 15 juta per unitnya.

Kesimpulan
Jelas sudah, enceng gondok memiliki banyak manfaat, baik manfaat ekologi dan manfaat ekonomi. Dari sisi ekologi, eceng gondok mampu meningkatkan kualitas air yang tercemar. Berkat eceng gondok, logam berat dan polutan lainnya bisa diserap dari ekosistem perairan. Dari sisi ekonomi, eceng gondok mampu memberikan pendapatan tambahan bagi masyarakat. Di tangan orang-orang kreatif, tumbuhan ini bisa berubah menjadi barang-barang yang bermanfaat (seperti sandal, tas, bahkan sofa) sehingga bernilai ekonomi tinggi. Akhirulkata, eceng gondok bukanlah musibah, melainkan anugrah.

MENGHIJAUKAN BETON-BETON KOTA

Oleh:
Toto Supartono

Pendahuluan
Pembangunan perkotaan seringkali berbenturan dengan kepentingan lingkungan hidup sehingga pada akhirnya merugikan lingkungan perkotaan itu sendiri. Pesatnya pembangunan perkotaan kerapkali mengurangi ruang-ruang terbuka hijau yang seharusnya dipertahankan. Karena padatnya kendaraan bermotor dan pabrik, perkotaan juga sudah dipastikan sesak oleh polutan-polutan hasil pembakaran bahan bakar. Padahal, ruang terbuka hijau sangat dibutuhkan untuk mengurangi polutan-polutan agar kualitas udara perkotaan tetap stabil atau meningkat.
Mengingat pentingnya ruang terbuka hijau sebagai penjaga kualitas udara dan lingkungannya, harus ada upaya untuk mengatasi benturan kepentingan pembangunan perkotaan dengan kepentingan pelestarian alam. Salah satu alternatif untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah pembangunan taman-taman atap gedung.

Negara-Negara Pelopor Pembangunan Taman Atap
Di beberapa negara maju, pembangunan taman-taman atap gedung perkotaan bukan lagi hal yang baru. Misalnya Jerman dengan nama ecoroof project nya. Bersama dengan Swis, Austria dan Skandinavia, Jerman merupakan pelopor pembangunan ruang hijau atap bangunan di belahan Benua Eropa. Pada tahun 1989, negara yang pernah dipimpin Hitler ini berhasil menghijaukan atap gedung bertingkat seluas satu juta meter persegi dan pada tahun 1996 berhasil menghijaukan seluas 288.000 meter persegi. Dalam kurun waktu tujuh tahun (1989 – 1996), total atap gedung yang berhasil dihijaukan mencapai 10 juta meter persegi dengan proporsi diantara sepuluh atap gedung teradapat satu taman atap. Sebagai salah satu negara pelopor, keberhasilan pembangunan taman atap ini tentunya tidak terlepas dari dukungan peraturan dan finansial pemerintah kota sebesar 35 – 40 DM untuk setiap meter persegi luas atap.
Di Asia, negara yang sudah menerapkan konsep taman atap gedung diantaranya Jepang dan Hongkong. Konsep ini dikenal dengan nama flying green project. Pada tahun 2001, Pemerintah Kota Tokyo menata ulang kota dengan mengharuskan setiap bangunan pemerintah memiliki raung terbuka hijau. Selanjutnya, penyediaan ruang terbuka hijau ini diikuti oleh warga dengan kesadarannya sendiri. Kemudian, sejak 1 April 2004, Pemerintah Jepang memberlakukan aturan yang mewajibkan penyediaan minimum 20% dari areal atap datar gedung bertingkat sebagai ruang hijau. Peraturan ini berlaku untuk setiap pembangunan gedung layanan publik yang memiliki luas minimum 250 meter persegi atau fasilitas komersial privat yang memiliki luas minimum 1.000 meter persegi. Sebagaimana Jepang, Pemerintah Hongkong juga menerapkan aturan yang sama dalam mengelola dan menghijaukan atap gedung. Dalam mensukseskan areal hijau kota, Hongkong telah menerbitkan surat keputusan bersama tiga mentri (bidang Bangunan, bidang Lahan dan bidang Perencanaan) yang memasukan penghijauan atap bangunan dalam standard pembangunan gedung tinggi.Selain contoh di atas, negara-negara lainnya yang sukses membangun taman-taman di atap gedung diantaranya Singapura (skyrise greening project), New York dan Washington (green roof project), Kanada, dan Korea. Untuk Singapura, program penghijauan atap-atap gedung ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan program Singapura sebagai Negara Taman. Untuk Korea, pembangunan taman atap gedung telah menyumbang atas kekurangan areal hijau di kota metropolitan Seoul, dengan luas kota 62.000 ha. Ruang hijau yang disumbangkan dari taman atap ini mencapai sekitar 20.000 ha atau 30 persen dari total kawasan terbangun kota.

Manfaat Pembangunan Taman Atap
Dengan adanya taman atap kota, negara-negara pembuat komitmen telah merasakan banyak manfaatnya. Pertama, menyerap karbondioksida dan menghasilkan oksigen. Karena adanya proses fotosintesis, tanaman akan menyerap karbondioksida dan mengubahnya menjadi oksigen ketika bereaksi dengan air sehingga kualitas udara menjadi lebih baik. Menurut pemberitaan Harian Umum Kompas tanggal 22 Januari 2008, taman atap seluas 155 meter persegi mampu menghasilkan oksigen yang cukup bagi satu orang per hari (24 jam). Sementara itu, taman atap yang dilengkapi pepohonan mampu menghasilkan oksigen yang cukup bagi 10 orang setiap jam.
Beberapa ahli lingkungan menyebutkan, setiap satu hektar lahan hijau dapat mengubah 3,7 ton CO2 dari aktivitas manusia, pabrik, dan kendaraan bermotor menjadi dua ton O2 yang dibutuhkan manusia. Penelitian lainnya juga mengungkapkan, pepohonan di areal seluas 300 x 400 meter mampu menurunkan konsentrasi debu di udara dari 7.000 partikel per liter menjadi 4.000 partikel per liter. Ada juga penelitian yang mengatakan bahwa setiap satu juta atap hijau mampu menyerap 595.000 ton CO2 per tahun. Tidak hanya menyerap karbon dioksida, pemilihan jenis tanaman yang tepat juga mampu menyerap gas-gas polutan, seperti SO2 (sulfur dioksida) dan timah hitam (Pb).
Kedua, menurunkan suhu udara. Keuntungan lain dari adanya taman atap ialah menurunnya suhu bangunan dan lingkungan sekitarnya. Rumput atau tanaman lainnya yang menututpi atap bangunan terbukti mampu menurunkan suhu kota sekitar 4,2 derajat Celcius. Bahkan pada penelitian lainnya menunjukkan, taman atap mampu mendinginkan permukaan bangunan dari 58 derajat Celcius menjadi 31 derajat Celcius, dan menurunkan suhu dalam bangunan 3-4 derajat C lebih rendah dari suhu di luar bangunan. Dengan adanya tanaman pada atap gedung, radiasi matahari akan ditahan, diserap dan dipantulkan kembali ke atmosfer sebelum mengenai atap gedung. Kemampuan tanaman yang berada di atap gedung dalam meredam radiasi sinar matahari ini mencapai 80 persen. Karena itu, tidaklah heran jika suhu di sekitar bangunan jadi menurun.
Ketiga, konservasi air. Pada saat hujan turun, tanaman akan menyimpan sebagian air pada permukaan tubuhnya dan memberikan kesempatan lebih lama kepada air untuk meresap ke dalam tanah/media tanam. Kemudian, sebagian dari air hujan tersebut diuapkan kembali oleh tanaman dan media tumbuh (tanah) dan sebagian lagi dialirkan melalui dasar media. Berkat jasa tanaman, taman atap mampu mengkonservasi dan menyerap air hujan sampai 75 persen. Selanjutnya, air-air yang tersimpan ini dapat dimanfaatkan untuk menyiram kloset dalam gedung, menyiram tanaman, dan mencuci kendaraan para pengguna gedung.
Keempat, menghemat energi. Karena kemampuannya dalam meredam radiasi matahari dan menyimpan sementara air hujan pada lapisan tanah sehingga atap menjadi lebih dingin, maka taman atap dapat mengurangi penggunaan energi listrik untuk perangkat pendingin udara (AC). Besarnya energi listrik yang dapat dihemat untuk pemakaian AC oleh sebuah gedung karena adanya taman atap mencapai 50 – 70 persen atau total hemat listrik sekitar 15 persen per tahun.
Kelima, tempat rekreasi alternatif. Perubahan tampilan atap gedung dari kondisi kaku dan gersang menjadi atap yang hijau tidak hanya memberikan kesan hidup, melainkan juga memberikan kesan yang nyaman. Terlebih lagi jika atap tersebut dipadukan dengan tanaman yang memiliki nilai-nilai estetika yang sangat tinggi, selain memberikan kenyamanan juga akan mempersembahkan rasa senang. Karena itu, taman atap gedung memiliki potensi sebagai tempat rekreasi terbatas.
Keenam, meningkatkan kesehatan. Gedung atau kondisi lingkungan yang tidak sehat banyak menimbulkan penyakit mulai asma hingga penyakit pernapasan lain. Taman atap dapat membantu menyerap debu dan polutan yang berada di sekitar gedung atau bangunan. Terserapnya berbagai polutan dan dihasilkannya oksigen oleh tanaman atap menyebabkan membaiknya kualitas udara disekitar gedung sehingga kesehatan para penghuninyapun akan meningkat.
Ketujuh, meningkatkan keanekaragaman hayati. Adanya penanaman dengan berbagai jenis tanaman berarti telah meningkatkan keragaman hayati di lingkungan perkotaan. Tidak hanya itu, adanya berbagai tanaman di atas gedung juga berarti penyediaan sumber pakan dan habitat satwliar sehingga menarik berbagai jenis hewan. Karena itu, pembangunan taman atap memberikan peluang untuk meningkatkan keanekaragaman hayati, baik flora maupun fauna di lingkungan perkotaan.
Selain ketujuh manfaat di atas, taman atap memiliki banyak manfaat lainnya. Misalnya, taman atap mampu melindungi lapisan penahan air (waterproofing) atap dari radiasi ultra-violet, fluktuasi ekstrem suhu udara, dan kerusakan fisik, sehingga dapat memperpanjang usia lapisan sampai 20 tahun ke depan.

Model Taman Atap
Desain ruang hijau atap dapat bervariasi dan ditentukan oleh konstruksi bangunan gedung, fungsi dan tingkat pengelolaan (pemeliharaannya). Pembangunan taman atap sudah berkembang mulai dari model yang sederhana hingga modern. Baik pada model sederhana maupun modern, pengembangan taman atap mensyaratkan memiliki atap yang kuat karena harus mampu menahan beban. Pada model yang sederhana, taman atap dapat berupa penempatan pot-pot yang berisi tanaman pada atap gedung. Pot yang digunakan tidak perlu yang mahal, bahkan bisa menggunakan barang bekas, seperti bekas ember, wadah cat, drum, dan lain-lain. Yang penting, tanaman tersebut mampu menyerap gas-gas polutan dan menurunkan suhu udara sekitar.
Pada model yang modern, taman atap didesain dengan cermat dan terdiri dari beberapa lapisan. Lapisan ini terdiri atas lapisan dasar anti bocor (waterproofing), jaringan saluran air bawah tanah (sub drainage), lapisan media tanah (geotextile atau ijuk dan pasir), median tanam (tanah subur, topsoil), dan tanaman penutup tanah (rumput, pengalas, semak). Untuk menjaga keawetan atap, penanaman pohon kecil hendaknya dilakukan pada bak-bak pot tanam. Berkat teknologi yang cukup mutakhir, lapisan media taman atap dapat mencapai ketebalan 10–20 sentimeter.
Untuk meningkatkan daya tarik, taman atap dapat dikombinasikan dengan berbagai fasilitas. Taman atap dapat dikembangkan menjadi taman kafe terbuka, kolam renang, lapangan olahraga atau mini golf (hotel, apartemen, gedung perkantoran, pusat perbelanjaan), kebun sayuran organik (apartemen, rumah susun, pusat perbelanjaan), taman terapi (rumah sakit, pusat klinik kesehatan, apartemen lansia), atau plaza penghubung antargedung (perkantoran, apartemen, hotel, pusat perbelanjaan) yang dapat digabungkan dengan stasiun kereta api atau monorel.

Pemilihan Jenis Tanaman
Tanaman yang digunakan dalam pengembangan taman atap bisa dipadukan dengan berbagai jenis tanaman, sehingga memiliki fungsi yang maksimal. Jenis yang ditaman dapat berupa gabungan dengan rerumputan, tanaman hias, tanaman berkayu, bahkan tanaman sayuran. Namun, penanaman sayuran harus dipertimbangkan secara matang ketika tingkat pencemaran udara kotanya sangat tinggi, terutama oleh pencemaran timbal. Timbal yang masuk ke dalam tubuh manusia dengan konsentrasi tinggi dapat menurunkan tingkat kecerdasan manusia.
Tanaman yang daunnya berbulu (trikoma) efektif untuk menyerap debu. Jenis tanaman yang memiliki bulu daun antara lain trengguli, johar, flamboyan, dan bunga lampion. Tanaman ini cocok ditanam di daerah berdebu, seperti kawasan pabrik semen, pinggir jalan, dan lain-lain. Jenis kacang-kacangan atau leguminosae tahan terhadap polutan. Jenis tersebut diantaranya angsana, trembesi, dan akasia. Tanaman jenis kacang-kacangan juga mampu meningkatkan kesuburan tanah. Jenis lainnya yang patut dipertimbangkan adalah dadap (toleran pada lahan bergaram dan memiliki bunga yang indah); flamboyan (tahan kering); bunga kupu-kupu (menyerap SO2); asem londo (menyerap Pb); kersen dan sawo kecik (mampu menyerap partikel padat); cempaka, tanjung dan kenanga (dapat menyerap bau busuk); kedondong (menurunkan kebisingan). Jenis yang banyak dilupakan orang adalah tanaman merambat. Jenis ini sangat bermanfaat karena bisa menjalar di dinding, di pagar, di atap pergola, bahkan bisa dililitkan di batang pohon atau tiang listrik.

Pembangunan Taman Atap di Kota-Kota di Indonesia
Indonesia, khususnya kota-kota besar yang ada di Pulau Jawa, sudah sepatutnya mencontoh konsep-konsep pembangunan taman atap sebagaimana yang telah dilakukan oleh negara-negara contoh di atas. Jakarta misalnya. Penerapan konsep taman atap gedung sangat penting dilakukan mengingat banyak sekali jalur hijau atau ruang terbuka hijau yang dibabat untuk sarana dan prasarana transportasi seperti jalur bus way. Apalagi, Ibu Kota Negara Indonesia ini memiliki peringkat ketiga di dunia setelah Mexico City dan Bangkok dalam hal tingkat polusi udaranya.
Kini, Jakarta baru memiliki ruang terbuka hijau seluas 6.900 ha atau sekitar 10 persen dari luas wilayah. Target pemerintah DKI Jakarta untuk menyediakan ruang terbuka hijau sebesar 13,94 persen. Ini masih jauh tertinggal di bawah kota-kota besar di negara lain. New York menargetkan sekitar 25,2 persen pada 2020; Tokyo menargetkan 29 persen menjadi 32 persen pada 2015; London menargetkan 39 persen pada 2020; Singapura menargetkan 19 persen, dengan lahan hijau cadangan 37 persen pada 2034; Beijing menargetkan 38 persen menjadi 43 persen pada 2008; dan Curitiba menargetkan 17 persen, dengan lahan hijau cadangan 13 persen pada 2020.
Data pada paragraf di atas menunjukkan, kota-kota besar di negara-negara tersebut memiliki target penyediaan ruang terbuka hijau yang semakin bertambah. Bagaimana dengan DKI Jakarta? Berdasarkan Rencana Induk Djakarta 1965-1985, Jakarta mengalokasikan ruang terbuka hijau seluas 37,2 persen. Selanjutnya, dalam Rencana Umum Tata Ruang Jakarta 1985 – 2005 berubah menjadi 25,85 persen. Kemudian, dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Jakarta 2000 – 2010, Jakarta menyisakan target ruang terbuka hijau hanya sebesar 13,94%. Ini menunjukkan kekurangpedulian Pemerintah DKI Jakarta dalam melestarikan dan meningkatkan kualitas lingkungan hidup.
Menyempitnya ruang terbuka hijau kemungkinan besar tidak hanya di alami oleh Jakarta, melainkan juga dialami oleh kota-kota besar lainnya di Indonesia. Terlebih lagi gedung-gedung yang berdiri di kota-kota besar belum mengembangkan taman atap atau paradigma gedung hijau. Memberlakukan peraturan taman kota di atap gedung merupakan salah satu cara yang bisa dilakukan guna membantu mengurangi polutan dan menyerap hawa panas kota.

Kesimpulan
Kepentingan pembangunan seringkali ditempatkan di atas kepentingan lingkungan hidup. Karena itu tidaklah heran bila ruang terbuka hijau makin menyempit dan gedung-gedung bertingkat makin bertambah banyak.
Bagi kota-kota besar, keberadaan taman atap sangat penting. Ini karena taman atap memiliki banyak manfaat seperti, menyerap polutan, menurunkan suhu udara kota, menghasilkan oksigen, tempat rekreasi, meningkatkan kesehatan, meningkatkan atau menjaga keanekaragaman hayati, dan mengawetkan usia bangunan. Karena pentingnya keberadaan taman atap, Pemerintah Indonesia hendaknya memberlakukan pembangunan taman-taman atap pada pengelola bangunan, baik instansi pemerintah maupun swasta.


DAFTAR PUSTAKA

Nirwono Jogja. 2008. Kurangi Pemanasan Bumi dengan Taman Atap. http://rumahjogja.com/index.php.

Indriasari, L. 2007. Mengurangi Polutan Udara Dengan Tanaman. Kompas, 9 Desember 2007, dalam http://celotehlingkungan.blogspot.com.

Liputan6.com. 2007. Pemanasan Global Ancaman Bagi Dunia. http://www.liputan6.com/news.

Sindo Edisi Sore Ragam. 21/02/2008. Green Building, Investasi yang Menguntungkan. http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/ragam/green-building-investasi-yang-menguntungkan.html

Pramukanto, K. 2005. Taman Atap: Stepping Stone Hijau Jejaring Ekologi Kota. Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, IPB. Bogor.