Senin, 21 Juli 2008

MUDAHNYA MENGKRITIK, SULITNYA MENGKOREKSI

Mengkritik, menyalahkan, dan mencari kelemahan orang lain sangatlah mudah, semudah kita buang air kecil (?). Akan tetapi, mencari kelemahan dan kesalahan diri sendiri sangatlah sulit, sesulit buang air kecil dengan lepas tangan (bagaimana mungkin, kecuali buang air kecil ketika mandi, tanpa busana). Dalam dunia kritik dan salah menyalahkan, sepertinya kita (pengkritik) telah menjadi orang yang paling benar, dan orang yang dikritik seakan-akan menjadi mahluk yang paling salah, bodoh, dan tolol.
Ngomong-ngomong tentang kritik dan mudahnya mencari-cari kesalahan orang lain, saya masih ingat pembicaraan seorang penumpang bis ekonomi tujuan Bogor - Kuningan. Penumpang itu berbicara dengan penumpang lainnya yang tepat berada di sebelahnya. Sementara saya duduk tepat dibangku depannya, dengan kata lain mereka berdua tepat di belakang saya. Obrolan itu terjadi sekitar satu tahun yang lalu.
Ketika itu, bus sedang melaju kencang di tol Cikampek menuju Cirebon. Lelaki berkaus gelap setengah baya itu sebenarnya telah membuka pembicaraan dengan teman sebelahnya sejak berangkat dari dari terminal Baranang Siang, Bogor. Sebelumnya, saya tidak mempedulikan pembicaraan mereka. Sebab itu adalah hal yang wajar dalam perjalanan, meski mereka baru saling kenal. Namun, kuping saya sedikit melebar pada saat dia bercerita tentang perilaku penumpang dalam kendaraan umum. Menurutnya, menaikan kaki ke atas jok kendaraan adalah perbuatan yang tidak sopan. Padahal ketika itu, kebetulan kaki saya juga dinaikan ke atas jok, karena pegel dan jarak dengan jok depannya sangat sempit. Tentu saja, saya merasa tersindir, dan pelan-pelan menurunkan kedua kaki. Selanjutnya, dia juga mengatakan, sangat berbahaya tertidur di dalam kendaraan (bis), terutama ketika kendaraan di rem mendadak. Saya lagi-lagi merasa tersindir. Sebab, beberapa saat sebelumnya, saya tertidur dalam kendaraan itu. Bagi saya, pembicaraan bapak tua itu adalah sebuah masukan yang sangat berharga.
Di sela-sela pembicaraan itu, orang tua itu menawarkan rokok kepada orang disebelah yang dari tadi setia mendengarkan ocehannya. Kebetulan, orang yang berada di sebelah itu tidak suka merokok (barangkali dia lebih suka dirokok ketimbang merokok. he..he...). Tanpa banyak basa-basi, orang tua itu menyalakan rokok kreteknya. Asappun ngebul ke mana-mana, ke depan, ke belakang, ke samping dan ke atas.
Melihat kondisi seperti itu (sebenarnya bukan melihat, karena saya berada di depannya, mungkin lebih tepatnya mengetahui yah...), saya jadi berpikir "sungguh tidak konsisten orang tua itu". Kenapa tidak? Bukankah merokok dalam kendaraan umum juga adalah salah satu perilaku yang melanggar etika dan merugikan orang lain. Kalo mengangkat kaki pada jok, mungkin orang yang merasa kurang nyaman adalah orang yang berada di sampingnya. atau bahkan orang yang berada disampingnya merasa biasa-biasa saja alias tidak peduli. Berbeda dengan merokok, merokok akan merugikan banyak orang, mungkin semua orang yang berada dalam bisa tersebut. Meskipun para penumpang sudah merasa terbiasa dengan asap rokok yang liar, bukankan perokok pasif lebih berbahaya daripada perokok aktif?.
Tapi kenapa dia dengan santainya dan merasa tanpa berdosa menghisap rokok seenaknya? Seperti itulah manusia, termasuk si orang tua itu (mungkin juga sebagian besar dari kita), mengkritik dan mencari-cari kesalahan orang lain sangatlah mudah, sementara mengkoreksi diri sendiri sungguh teramat sulit.

MASA MUDA....MASA YANG INDAH.....

Ada yang mengatakan masa muda adalah masa yang paling menyenangkan. Ada juga yang mengatakan, masa muda adalah masa untuk mencari jati diri.
Bagi KSH angkatan 33, pastinya juga bagi semua mahasiswa Fahutan IPB, masa kuliah (baca masa muda) adalah masa yang meng"ASIK"an. Semua mahasiswa yang pernah kuliah di fahutan IPB tentunya masih faham betul kepanjangan dari ASIK. A berarti Agamis. S berarti Sportif. I berarti Inovatif. Dan, K berarti Kreatif. Moto itu telah menjadi "pegangan hidup" bagi mahasiswa Fahutan IPB.
Banyak kenangan, memang, di saat-saat kita kuliah. Ada canda, ada tawa, ada haru, bahkan terkadang ada masa-masa ketika kita tak kuasa menahan tetesan air mata. Kenangan itu, barangkali, terlalu manis untuk kita lupakan begitu saja. Kenangan itu begitu penuh makna.
Tentu kita masih ingat, ketika kita jalan-jalan ke Megamendung. Perjalanan yang dikomandani oleh Sopyan Iskandar (sumpit) ini dimulai dari Kampus IPB Baranang Siang, selepas kuliah sore. Dalam perjalanan itu, kita juga mengikutsertakan dua orang tamu dari luar jurusan kita, Ari (embe), dan Dewo (?) (kalo tidak salah). Turun dari angkot, kita tidak langsung mencapai lokasi, melainkan harus satu kali lagi naik kendaraan umum (kalo tidak salah bak terbuka yah). Ketika itu, hari sudah menjelang maghrib. Selepas turun dari mobil terakhir, hari sudah gelap. Sambil beristirahat sebentar, kita juga menyempatkan diri untuk shalat maghrib pada sebuah mushola kecil yang berada di samping kolam.
Tanpa berbekal senter, kita melanjutkan perjalanan menuju tempat yang kita tuju. Selepas isa, akhirnya, kita sampai juga di depan rumah panggung dan berdinding bilik bambu. Sambil menunggu pagi, temen-temen cewe tidur di dalam rumah, dan laki-laki tidur di halaman berselimutkan lagit berkabut. Saya masih ingat, untuk mengurangi hawa dingin, temen-temen membuat api unggun, dan tidur di samping api tersebut. Saya juga masih ingat, pada saat bangun pagi, jois (Retno Jois) sudah berada disamping api unggun yang semalaman menyala. Tapi, saya lupa, apa yang dia lakukan dan katakan.
Hari sudah sedikit siang. Matahari sudah tidak lagi malu-malu untuk menampakkan diri. Kita (KSH 33), bersiap-siap menuju sebuah air terjun dan anak sungai. Cukup jauh, memang, curug yang kita tuju itu. Selain jalannya naik, kita juga berbatu. Sesampainya di tempat yang dituju, para cowok mandi berame-rame. Lain halnya dengan Aji Setiaji. Dia tidak langsung mandi seperti kami, melainkan langsung ke bagian hulu sungai. Tak lama kemudian, dia kembali dengan kaki yang berdarah. Jelas saja, kita semua merasa kaget dengan kejadian itu. Yang harusnya kita senang-sengan, kita malah kuatir sekaligus ngeri melihat kaki si Gocap. Karena itulah kita pun pulang menuju rumah tempat kita menginap.
Di tengah perjalanan menuju pulang, saya juga masih ingat, bagian belakang Yuni Morante (bagian mananya ayo.....) terlihat darah merembes melalui celana jeansnya. Dan Yuni pun menjadi histeris. Ternyata, Yuni di gigit Pacet. Tapi saya tidak ingat, orang yang mengambil pacet dari tubuh ibu yang panggilannya Qinuy itu, yang jelas bukan cowok (kalo tidak salah, shanti yah??).
Oh... ya.... saya juga masih ingat teguran eru sama saya. Sebenarnya itu bukan teguran eru, tapi teguran Tyas untuk saya. Karena Tyasnya tidak berani, maka nyuruh eru. Pengen tau tegurannya apa? saya tidak berani menuliskannya, malu. Tanyain aja langsung ama Tyas, itu juga kalo ibu Tyas nya masih ingat. Mudah-mudahan, ibu Tyasnya masih lupa, ha...ha....ha......
Tidak memerlukan waktu setengah jam, kita sudah sampe lagi di rumah bilik bambu itu. Karena dingin dan dari pagi belum sarapan, perutpun mulai lapar. Kebetulan yang punya rumah sudah nyiapin makanan buat kita, lauknya goreng ikan asin, sambal, dan lalap (bayar buat makannya berapa yah? saya lupa lagi). Menjelang sore, kita pun pulang menuju bogor, menuju kostannya masing-masing.

Minggu, 20 Juli 2008

ARGOJATIKU..... KOK ANJLOK SIH.....

Jarang, memang, saya naik kereta. Ketika kuliah di Bogor, intensitas naik KRL Bogor - Jakarta bisa dihitung dengan 10 jari. Berbeda dengan temen saya, hampir tiap hari dia naik kendaraan yang berjalan di atas besi panjang itu. Karena seringnya, dia iseng-iseng menggabung-gabungkan tiket itu. Luar biasa, gabungan tiket itu mencapai sebesar tiker.

Enam hari yang lalu, tepatnya 16 Juli 2008, saya bersama temen sepekerjaan berangkat dari Stasiun Cirebon menuju Stasiun Gambir, Jakarta. Kereta yang saya tumpangi adalah Argojati, harga tiket Rp.83 ribu. Saya kebagian tempat duduk di gerbong 6 (nomor kursinya lupa). Tidak terlalu sulit mencari gerbong 6 itu, karena begitu saya berada di dekat kereta saya langsung menghampiri seorang petugas dan menanyakan gerbong 6. Dengan ramah, petugas (perempuan) itu menunjukkan gerbong yang saya maksud. Di dalam gerbong, para penumpang sudah menempati tempat duduknya masing-masing. Gerbong itu hampir penuh, sekitar 5- 8 kursi saja yang belum terisi. Kursi di depan saya sudah diisi oleh perempuan berkerudung dan seorang putrinya yang juga berkerudung. Kursi di belakang saya diisi oleh laki-laki keturunan tionghoa dan seorang anaknya. Sementara kursi di samping kanan saya diisi oleh laki-laki muda keturunan tionghoa juga.
Pukul 14.00 kereta mulai meluncur menuju Jakarta, dengan tujuan akhir Stasiun Gambir. Dalam perjalanan menuju Jakarta itu, saya begitu menikmati pemandangan yang dilewati kereta. Sawah yang kering kerontang, padi yang menguning dan para petani yang sedang sibuk memanen padi terlihat silih berganti. Keretapun melaju kencang.
Sekitar satu setengah jam setelah meninggalkan Stasiun Cirebon saya merasakan roda kereta menggilas benda yang sangat keras, seperti kendaraan roda empat melewati polisi tidur, sehingga menimbulkan goncangan yang tidak wajar. Karena goncangannya itu, teman saya yang berada di samping kiri yang semula tertidur pulas, jadi terbangun. Meski sedikit janggal, saya hanya berdiam diri. Sekitar 30 detik kemudian, kereta yang tadinya melaju kencang sedikit-sedikit mengurangi kecepatannya, dan akhirnya berhenti.
Melalui jendela sebelah kiri, iseng-iseng saya melirik ke arah luar. Di arah luar sana, saya melihat beberapa penduduk berlarian menuju arah belakang yang baru saja kami lewati. Ternyata, tidak hanya saya yang melihat penduduk berlarian itu, penumpang yang lainnya pun melihat hal yang sama. Karena penasaran, para penumpang (termasuk saya dan teman saya) mendekat ke arah pintu keluar- masuk. Pada saat memalingkan kepala ke arah belakang, saya melihat gerbong yang tertinggal dengan posisi ke luar rel, dan miring ke kiri. Di seberang sana, para penduduk berteriak "anjlok....anjlok....keretanya anjlok....".
Para penumpang yang sangat penasaran berloncatan ke bawah, termasuk temen saya yang baru terbangun itu. Para petugas kereta mulai tampak sibuk. Sebagian diantara mereka ada yang menjinjing kunci inggris dan linggis, dan sebagian lagi ada yang sibuk berkomunikasi melalui selulernya (kemungkinan sedang menelpon kantor pusatnya). Beberapa penumpang yang sudah berada di bawah sepertinya ingin mengabadikan kejadian ini. Dengan HP dan kamera yang kebetulan di bawanya, mereka memotret gerbong kereta yang tertinggal di belakang sana. Diantara penumpang yang sedang mengabadikan kejadian ini, saya melihat seorang warga keturunan jepang.
Sekitar satu jam kereta berhenti, petugas memerintahkan para penumpang yang berada di gerbong belakang (gerbong yang anjlok) untuk pindah ke gerbong depan. Beruntung, dari informasi para petugas dan penumpang lainnya, tidak ada korban jiwa, kecuali sedikit lecet-lecet dan terkilir. Setelah para penumpang pindah ke gerbong depan, kereta mulai melanjutkan perjalanan dan meninggalkan gerbong yang anjlok.
Karena sesaknya penumpang, udara di dalam gerbong sangat panas. Apalagi, AC yang bisa memberikan hawa sejuk, kini menjadi mati. Itu karena, Generator Listrik yang mensupplay listrik ke AC berada di Gerbong paling belakang, yang anjlok. Kereta tidak tidak lagi seperti kereta Eksekutif, kini tidak lebih seperti KRL ekonomi Bogor - Jakarta yang pernah saya tumpangi.
Karena insiden itu, petugas kereta menginformasikan kepada para penumpang ada pemotongan harga tiket. Menurutnya, uang pemotongan itu bisa diambil di stasiun Jatinegara atau Gambir. Besarnta uang pemotongan adalah Rp.25 ribu rupiah, sehingga tiketnya disamakan dengan harga kelas bisnis.
Dengan berdesak-desakan dan bercucuran keringat, akhirnya kereta sampai di Stasiun Gambir, sekitar pukul 18.30. Dan sayapun, menukarkan tiket untuk mendapatkan uang pengganti yang besarnya Rp 25 ribu.

Jumat, 11 Juli 2008

DUH...MAHALNYA PENDIDIKAN DI NEGERI INI


Ketika duduk di kelas satu SD (tahun 1983), saya masih merasakan membayar SPP (bayaran sekolah) sebesar Rp.100,- (seratus rupiah) per bulannya. Itu saya rasakan selama dua bulan. Pada bulan berikutnya, SPP naik menjadi Rp 250,- (kalo tidak salah). Selain relatif murah, waktu itu kepala sekolah membuat kebijakan yang meringankan dan membantu masyarakat. Seandainya, jika dalam satu keluarga ada dua orang yang sekolah di SD itu, kepala sekolah hanya memungut sebesar 1,5 kalinya (1,5x250=Rp375,-). Saya tidak tahu, kenapa kepala sekolah membuat kebijakan seperti itu? Saya juga tidak tahu, dari mana kekurangan uang, yang sebesar 0,5 kalinya itu di dapat. Yang saya tahu, kebijakan itu sangat membantu dan meringankan masyarakat. Ketika itu, saya melihatnya, jauh sekali dunia pendidikan dari kontaminasi dunia bisnis.


Kini, kondisinya sudah lain. Jangankan masuk SD, SMP, atau SMA, ingin masuk ke TK saja haru punya uang yang cukup tebel. Ini di rasakan oleh temen sepekerjaan saya. Tahun ini, dia telah mendaftarkan anaknya ke Taman Kanak-Kanak. Untuk kebutuhan administrasi dan biaya lainnya, temen saya itu harus mengeluarkan uang sebesar Rp450.000,00. Padahal itu hanya TK, apalagi kalo SD, SMP, atau SMA.


Pengalaman yang sama dialami juga oleh orang tua saya. Tahun ini, orang tua saya telah mendaftarkan adik saya ke sekolah SMP swasta. Dana awal yang harus dikeluarkannya cukup besar (untuk ukuran orang tua saya yang hanya PNS golongan IIb). Biaya yang harus dikeluarkan itu sebesar Rp.3.500.000,- (tiga juta lima ratus ribu rupiah). Uang sebesar itu, lebih besar dibanding biaya awal tahun waktu saya masuk kuliah, tahun 1996.


Mahalnya biaya pendidikan adalah sebuah realitas di negeri tercinta ini. Di satu sisi, pemerintah menuntut warganya untuk menempuh pendidikan setinggi mungkin. Di sisi lain, karena adanya kebijakan pemerintah, pendidikan di negeri ini makin mahal. Pencabutan subsidi BBM menyebabkan harga-harga kebutuhan pokok melejit naik, daya beli masyarakat kian menurun, dan jurang pemisah antara kaum miskin dan si kaya makin terbuka lebar.


Bagaimana masyarakat kita mau menyekolahkan anak-anaknya, kalo untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari saja masih susah? Pesan saya, pemerintah harus segera menghentikan korupsi masalnya, dan realisasikan 20% APBN untuk pendidikan. Kalo tidak, Indonesia akan tetap menjadi negara bodoh, tertinggal, kere, dan diinjak-injak oleh negara lain.


Jumat, 04 Juli 2008

UNIKU MEWISUDA 666 WISUDAWAN

Hari ini, 05 Juli 2008, Universitas Kuningan mewisuda sebanyak 666 wisudawan. Wisudawan sebanyak itu berasal dari empat fakultas, yakni Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Fakultas Ekonomi (FE), Fakultas Kehutanan (Fahutan), dan Fakultas Komputer (FKom); dan satu program pascasarjana, yakni Pendidikan Ekonomi. Dalam sejarah semenjak berdirinya Uniku, wisuda kali ini adalah wisuda yang paling banyak.
Tidak ketinggalan, wisuda yang diselenggarakan di Student Centre Imam Hidayat ini dihadiri oleh Bupati Kuningan beserta para pejabat yang berada di bawahnya, pejabat kopertis wilayah Jawa Barat dan Banten, serta para undangan dari perguruan tinggi sekitar.
Selain acara pelantikan, wisuda ini juga diisi oleh sambutan-sambutan dari Bupati Kuningan (Aang Hamid Suganda), Pejabat Kopertis, Rektor Uniku, dan Ketua Yayasan Pendidikan Sang Adipati Kuningan.