Beberapa waktu lalu, wacana Propinsi Cirebon sempat naik daun, bahkan menimbulkan pro dan kontra di berbagai kalangan termasuk di kalangan pemimpin daerah lingkup Wilayah III Cirebon. Terlepas pro dan kontra, bila Propinsi Cirebon terbentuk, propinsi baru ini harus membiayai sendiri, tanpa bantuan Pemerintah Propinsi Jawa Barat. Konsekuensinya, pemerintah akan mengerahkan kabupatennya memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki, terutama sumberdaya alam. Model pemanfaatan sumberdaya alam yang bisa dikembangkan diantaranya ekowisata.
Dari lima kabupaten/kota, Kabupaten Kuningan merupakan daerah yang bisa dikembangkan ekowisata. Bahkan, Kabupaten Kuningan sudah memiliki visi pariwisata yang jelas, yakni “Tahun 2008 sektor pariwisata menjadi andalan perekonomian daerah yang berbasiskan sumberdaya alam, budaya yang lestari, dan agamis”. Untuk mewujudkannya, pembangunan kepariwisataan diutamakan pada penggalian obyek dan pengembangan daya tarik wisata.
Dengan demikian, Kabupaten Kuningan diharapkan menjadi tujuan wisata.
Kabupaten Kuningan memiliki sumberdaya alam yang tinggi dan tersebar merata. Meski pemanfaatannya belum optimal, setiap kecamatan umumnya berpotensi ekowisata. Potensi tersebut berupa air terjun (lembah Cilengkrang), air panas (Sangkanurip), danau/waduk (Waduk Darma, Talaga Remis), kolam renang alami (Cigugur, Cibulan, Linggarjati), dan pemandangan alam (Bumi Perkemahan Palutungan, Gunung Ciremai).
Dari semua itu, sumberdaya alam yang paling berpotensi bagi ekowisata ialah Gunung Ciremai. Selain keanekaragaman hayatinya tinggi, gunung tertinggi di Jawa Barat ini juga memiliki pemandangan yang indah, air terjun, goa, tempat bersejarah, camping ground, dan menawarkan tantangan tersendiri kepada para pendaki. Apalagi sejak tahun 2004, gunung ini menjadi Taman Nasional. Dan sebagai kawasan konservasi, pemanfaatan model ekowisata lebih sesuai daripada model lainnya.
Secara geografis, Kabupaten Kuningan merupakan daerah berbukit dan bergunung sehingga memiliki bentang alam yang sangat menarik. Dan dari sisi konservasi, rupa lahan tersebut harus dijaga dan ditutupi tumbuhan. Bila tidak, Kabupaten Kuningan bertambah rawan terhadap longsor.
Akan tetapi, ada kepentingan lain yang tampaknya saling bertentangan dengan konservasi. Di satu sisi, lahan tersebut harus dilindungi, dan di sisi lain, masyarakat membutuhkan sumberdaya yang dikandungnya. Karena itu, model pemanfaatan sumberdaya yang ramah lingkungan dan sekaligus memberikan hasil optimal bagi masyarakat perlu dikembangkan. Salah satu model yang dinilai mampu mewujudkan kedua kepentingan tersebut ialah ekowisata.
Disadari, tidak semua tapak yang ada di Kabupaten Kuningan layak dikembangkan ekowisata. Tidak semua tapak di Kabupaten Kuningan berestetika tinggi. Padahal model ekowisata mesti dilakukan di kawasan yang berdaya tarik tinggi. Lantas, bagaimana dengan kawasan yang estetikanya rendah? Jelas, di lokasi yang kurang menarik, model ekowisata tidak bisa dipaksakan. Pada kondisi demikian, perlu model lainnya, seperti budidaya tanaman obat, budidaya lebah madu, budidaya perikanan, dan agroforestry.
Sebagai daerah berbukit dan bergunung, Kabupaten Kuningan sangat penting bagi penyangga wilayah sekitarnya. Artinya, Kabupaten Kuningan merupakan pendukung bagi proses-proses kehidupan daerah sekelilingnya. Contohnya, Kabupaten Kuningan menjadi penyuplai air bagi Kabupaten/Kota Cirebon, Kabupaten Indramayu, dan Kabupaten Brebes.
Secara administrasi pemerintahan, Kabupaten Kuningan dikelilingi Kabupaten Ciamis, Kabupaten Brebes, Kabupaten/Kota Cirebon, dan Kabupaten Majalengka. Pada posisi ditengah ini, hutan Kabupaten Kuningan sangat penting bagi daerah sekelilingnya. Selain penyuplai air, hutan ini juga merupakan penghasil oksigen dan penyerap polutan dari daerah sekitarnya. Oleh karena itu, pemilihan model pemanfaatan sumberdaya alam yang menjamin pelestarian hutan mutlak dilakukan.
Sejak tahun 2000, otonomi daerah menjadi energi pengembangan ekowisata Kabupaten Kuningan. Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah merupakan peluang emas bagi Kabupaten Kuningan mengelola dan mengembangkan potensi ekonominya. Melalui kedua kebijakan itu pula Kabupaten Kuningan memiliki kebebasan mengelola sumberdaya alamnya, termasuk ekowisata. Ringkasnya, otonomi daerah membawa angin segar bagi pengembangan ekowisata Kabupaten Kuningan.
Dalam pengembangan ekowisata, aksesibilitas sering dijadikan pertimbangan. Pasalnya, aksesibilitas merupakan salah satu faktor penunjang keberhasilan ekowisata. Meskipun tidak semuanya, tetapi lokasi potensi wisata Kabupaten Kuningan umumnya mudah dikunjungi. Pasalnya, pembangunan sarana transportasi di Kabupaten Kuningan hampir merata. Karena itu, aspek aksesibilitas bukan kendala pengembangan ekowisata Kabupaten Kuningan.
Selain memiliki visi pariwisata, Pemerintah Kuningan juga menjadikan Kuningan sebagai Kabupaten Konservasi. Program ini merupakan refleksi pemerintah daerah terhadap pentingnya pelestarian sumberdaya alam Kuningan sebagai daerah penyangga. Artinya, semua kegiatan pembangunan akan dipadukan dengan kaidah-kaidah konservasi. Dan pemerintah daerah akan berhati-hati dalam memanfaatkan sumberdaya alamnya. Dengan demikian, pengembangan ekowisata merupakan model yang sejalan dengan semangat Kabupaten Konservasi.
Pengembangan ekowisata Kabupaten Kuningan akan lebih menjanjikan lagi bila dikaitkan dengan program pembangunan Kabupaten Majalengka dan Kota Cirebon. Kabupaten Majalengka akan membangun Bandar Udara bertarap internasional, dan Kota Cirebon akan membangun Pelabuhan Samudera. Bagi Kabupaten Kuningan, pembangunan tersebut menjadi peluang emas karena akan memudahkan wisatawan berkunjung ke Kuningan.
Sebagaimana daerah lainnya, pengembangan ekowisata memberikan dampak positif, meski ada juga negatifnya. Keuntungan yang diperoleh diantaranya: pertama, terbukanya lapangan kerja. Salah satu jenis lapangan kerja ialah jasa interpretasi. Penyedia jasa ini umumnya dari masyarakat sekitar, sehingga memperkecil angka pengangguran.
Pada kawasan wisata, keberadaan interpreter sangat penting. Tidak semua pengunjung mengenal dan memahami daerah-daerah yang dikunjunginya. Melalui penjelasan interpreter, pengunjung diharapkan memahami dan memperoleh kesan mendalam atas setiap objek yang dijumpainya. Karena itulah, jasa interpreter diperlukan.
Contoh penyediaan jasa interpretasi yang melibatkan masyarakat setempat bisa dilihat di Cagar Alam Pananjung, Pangandaran. Mereka (interpreters) mendampingi dan menjelaskan kepada pengunjung tentang objek yang dikunjunginya. Imbalannya, pengunjung memberikan upah kepada interpreter.
Kedua, terbukanya lapangan usaha. Banyaknya pengunjung, pembangunan ekowisata memberikan peluang kepada masyarakat membuka usaha-usaha baru seperti restoran/rumah makan, cenderamata, jasa transportasi, dan tempat hiburan. Contoh ini bisa dilihat di Pangandaran, di kawasan wisata Puncak, dan di sekitar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.
Ketiga, menjadikan Kabupaten Kuningan lebih dikenal di dunia luar, terutama internasional. Kawasan wisata yang dikelola baik, tidak hanya menarik wisatawan lokal dan nasional, melainkan juga wisatawan internasional.
Data Dinas Pariwisata Kabupaten Kuningan menunjukkan, periode 1994 hingga 2001, kunjungan wisatawan ke Kabupaten Kuningan berfluktuasi. Hal ini karena krisis ekonomi yang disusul krisis multidimensi pada tahun 1997 hingga tahun 1999. Namun mulai tahun 2000, jumlah kunjungan wisatawan ke Kabupaten Kuningan meningkat lagi. Pada tahun 2000, sebanyak 388.972 pengunjung, terdiri atas 1064 wisatawan manca negara dan 387.908 wisatawan nusantara. Pada tahun 2001 lebih banyak lagi, yakni 521.594 pengunjung, terdiri atas 749 wisatawan manca negara dan 520.815 wisatawan nusantara. Namun, kunjungan wisatawan asing pada tahun 2001 ini terjadi penurunan, diduga pengaruh isu politik di Indonesia, seperti isu terorisme.
Keempat, mempertahankan budaya dan produk lokal. Bagi daerah wisata, dua hal tersebut merupakan kebanggaan dan bernilai jual. Budaya lokal yang ada di Kabupaten Kuningan diantaranya seren taun (meskipun ini lebih cocok disebut wisata budaya). Dan contoh produk lokal yang juga bernilai jual diantaranya jeniper (jeruk nipis peras), peuyeum ketan, kiripik gemblong, sale pisang, wajit, dan opak ketan.
Kelima, meningkatkan Pendapatan Asli Daerah. Dewasa ini, pemanfaatan sumberdaya alam masih berorientasi kayu. Sebaliknya, pemanfaatan non-kayu, seperti ekowisata masih terbatas, sehingga pemanfaatan sumberdaya alamnya belum optimal. Namun, adanya pengembangan ekowisata diharapkan mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya alam dan menambah pemasukan bagi daerah. Selain itu, Pendapatan Asli Daerah juga bisa diperoleh melalui pajak usaha-usaha akibat pengembangan ekowisata.
Gambaran di atas merupakan kekuatan dan peluang Kabupaten Kuningan. Akan tetapi, ada hambatan-hambatan yang harus diatasi seperti rendahnya kemampuan masyarakat mengelola sumberdaya alam. Kondisi ini menyebabkan tidak optimalnya ekowisata Kabupaten Kuningan.
Guna mengatasi hambatan dan mewujudkan peluang, kerja keras harus ditempuh. Hal-hal yang harus dilakukan diantaranya: pertama meningkatkan kemampuan masyarakat, terutama mengelola sumberdaya alam. Kedua, meningkatkan kesadaran masyarakat pentingnya melestarikan sumberdaya alam. Ketiga, membuat kebijakan yang mendukung, harmonis, dan menyeluruh tanpa tumpang tindih dengan kebijakan lainnya. Keempat, menegakan aturan-aturan yang berlaku. Kelima, membangun komitmen antar stakeholder mewujudkan visi pariwisata kabupaten.Luar biasa, Kabupaten Kuningan berpotensi besar bagi wisata alam yang bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pembangunan daerah. Namun, tanpa komitmen semua pihak, peluang tersebut tidak ada artinya. Karena itu, pengembangan ekowisata ini perlu kesungguhan multipihak demi tercapainya pembangunan berkelanjutan di Kabupaten Kuningan khususnya, dan di Wilayah III Cirebon umumnya.
Rabu, 28 November 2007
BUMI MEMANAS, VIRUS MENGGANAS
Dalam menyikapi pemanasan global, manusia dapat dianalogikan dengan katak. Seekor katak akan loncat dan terbirit-birit ketika dimasukan ke dalam wadah yang berisi air panas. Sebaliknya, katak akan diam ketika dimasukan ke dalam wadah berisi air dingin, meskipun air tersebut perlahan-lahan dipanaskan hingga mendidih. Demikian juga dengan manusia. Manusia hanya duduk dan diam walaupun suhu udara makin memanas. Ketika suhu bumi melebihi batas toleransi tubuhnya, manusia tidak dapat berbuat apa-apa lagi, menunggu detik-detik ajalnya.
Sebenarnya, kerusakan lingkugan termasuk ancaman pemanasan global telah disadari sejak lama oleh sebagian anak manusia. Tiga puluh lima tahun yang lalu, tepatnya 5 Juni 1972, sebanyak 1.300 utusan dari 113 negara berkumpul mengikuti Konferensi di Stockholm. Konferensi yang mengambil tema “Hanya Ada Satu Planet Bumi” itu dilatarbelakangi oleh permasalahan-permasalahan lingkungan hidup. Saat itulah pertama kalinya diselenggarakan Konferensi Internasional Lingkungan Hidup, dan hingga kini setiap 5 Juni selalu diperingati hari lingkungan hidup sedunia. Konferensi yang diselenggarakan di Swedia itu mencita-citakan planet bumi kembali aman, nyaman, dan layak bagi manusia. Bagaimanakah kondisi planet ini setelah adanya konferensi di Stockholm?
Perusakan lingkungan oleh anak cucu adam (juga oleh kita) tidak pernah terhenti, bahkan semakin merajalela. Kerusakan ini telah memicu terjadinya bencana demi bencana seperti pemanasan global. Musibah ini, mau tidak mau, harus ditanggung oleh sekitar enam setengah milyar penduduk bumi (tentunya manusia), terkadang harus dilunasi oleh tetesan air mata anak manusia.
Pemanasan global terjadi karena tingginya konsentrasi gas-gas rumah kaca (GRK) di atmosfer. Pemanasan global juga diperparah oleh rusaknya hutan hujan tropis, termasuk hutan tropis Indonesia yang berfungsi sebagai penyerap karbon. Gas-gas rumah kaca yang paling berperan dalam pemanasan global ini adalah karbon dioksida (CO2), metana (CH4), nitrogen dioksida (N2O), hydrofluorocarbons (HFCs), Perfluorocarbons (PFCs), dan Sulphur hexafluoride (SF6). Di atmosfer, gas-gas tersebut dapat memantulkan kembali radiasi matahari ke bumi setelah bumi memantulkannya.
Dari manakah gas rumah kaca itu berasal? Ada dua sumber utama gas rumah kaca. Pertama, aktivitas alami, seperti letusan gunung berapi. Kedua, aktivitas manusia. Aktivitas manusia yang bisa menghasilkan gas rumah kaca diantaranya kegiatan industri, penggunaan bahan bakar kendaraan bermotor, penggunaan batu bara, pembakaran hutan, penumpukkan sampah, kegiatan pertanian, dan kita yang sering over dosis mengkonsumsi listrik.
Hasil penelitian menunjukkan, konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer sebagian besar diakibatkan oleh aktivitas manusia. Pertanyaan berikutnya, manusia yang manakah penyumbang terbesar gas-gas rumah kaca ini? Tidak disangsikan lagi, penyumbang terbesar ialah manusia yang mendiami negara maju. Meskipun jumlah negara maju hanya tiga puluh negara dan jumlah penduduknya hanya 20 persen dari penduduk dunia, tetapi buangan bahan bakar fosilnya menyumbang dua pertiga dari total buangan. Sedangkan negara berkembang yang jumlah penduduknya 80 persen dari penduduk dunia, hanya menyumbangkan satu pertiganya saja dari total buangan.
Bila melihat kecenderungannya, peningkatan suhu bumi sepertinya tidak akan pernah berhenti. Michael Oppenheimer dan Brian O'Neill, peneliti lingkungan dari Universitas Princeton dan Universitas Brown Amerika Serikat, mengungkapkan, selama 30 tahun (1965-1995) suhu bumi meningkat sebesar nol koma enam derajat Celcius. Lembaga Penelitian Cina yang diperkuat oleh NASA memperkirakan suhu bumi akan meningkat sedikitnya 5,8 derajat Celcius pada akhir abad ini. Wow! mengerikan bukan?
Bila mengingat dampaknya, maka pemanasan global harus segera dihentikan. Pemanasan global telah menambah daftar masalah yang semakin ruwet. Bumi yang memanas tidak hanya mengancam lingkungan, tetapi juga mengancam kesehatan manusia. Peningkatan suhu bumi telah menambah munculnya wabah penyakit seperti malaria. Tidak percaya?
Di Asia Tenggara, bila semula nyamuk anopheles hanya dijumpai di dataran rendah, kini bisa dijumpai juga di daerah yang lebih tinggi. Papua, contohnya. Pada tahun 1997, penyakit malaria terdeteksi untuk pertama kalinya pada ketinggian 2.100 mdpl. Padahal, sebelumnya, ’nyamuk-nyamuk nakal itu’ tidak dijumpai di daerah setinggi itu. Bahkan, para peneliti memperkirakan bahwa Asia Tenggara termasuk wilayah Indonesia--terutama Sumatera dan Irian Jaya--akan mengalami penambahan daerah-daerah rawan endemik malaria.
Tidak hanya di Asia Tenggara, nyamuk malaria juga sudah menginvasi belahan bumi lainnya, dan akan terus menjadi ancaman. Sebut saja kawasan pegunungan Andes Kolumbia, Amerika Tengah. Nyamuk penyebab penyakit malaria, demam berdarah, dan demam kuning dilaporkan sudah bertengger pada ketinggian 1.000 - 2.195 mdpl. Informasi lain menyebutkan, nyamuk anopheles juga sudah beterbangan di daerah-daerah subtropis dan dataran yang lebih tinggi lainnya, seperti di Afrika Tengah dan Ethiophia.
Mendukung gambaran di atas, Ridad Agoes, Guru Besar Parasitologi Universitas Padjadjaran, mengungkapkan, pemanasan global mengakibatkan nyamuk malaria menyebar ke daerah-daerah yang sebelumnya tidak ada. Padahal selama ini, nyamuk malaria dianggap hanya berkembangbiak pada daerah-daerah tropis yang suhunya lebih dari 16 derajat celcius dan pada ketinggian kurang dari 1.000 meter dari permukaan laut.
Sama seperti penemuan Agoes, Dr.Jonathan Patz, Guru Besar Universitas Wisconsin, menemukan hubungan antara perubahan suhu dengan kasus malaria di Pegunungan Kenya. Beliau mengungkapkan, kasus malaria meningkat selama perubahan panas yang ekstrem. Selain itu, beliau juga mengamati penyebaran virus west nile di seluruh Amerika. Hasilnya, arah penyebaran virus mengikuti pergerakan cuaca yang lebih panas dan kering. Kondisi itulah yang menjadi pilihan nyamuk culex, serangga utama pembawa virus. West nile virus alias virus Nil Barat, merupakan virus penyebab penyakit radang otak.
Selain penyebaran malaria, pemanasan global juga telah menyebabkan meningkatnya penyebaran demam berdarah. Pemanasan global menyebabkan suhu pada beberapa wilayah cocok bagi perkembangbiakan nyamuk malaria dan demam berdarah. Bila nyamuk malaria berkembangbiak pada kisaran suhu 25,25 hingga 27oC, maka nyamuk penyebab demam berdarah lebih lebar lagi, yakni antara 24 hingga 28oC. Karenanya, dapat dipahami jika pemanasan global telah memperluas ruang gerak nyamuk malaria dan demam berdarah.
Masalah lain yang dihadapi berkaitan dengan malaria dan demam berdarah ialah semakin ganasnya tingkat penyerangan kedua virus tersebut. Akibatnya, seolah-olah muncul penyakit baru. Padahal, penyakit itu sebenarnya masih sama yakni demam berdarah dengue (DBD) dan malaria. Demam berdarah yang terjadi di Jakarta dan Surabaya lebih ganas daripada yang terjadi pada tahun 1968. Penderitanya seringkali tiba-tiba shock sekaligus kehilangan kesadaran, disertai pendarahan tanpa didahului bintik-bintik merah di kulit.
Bertambah ganasnya penyakit demam berdarah juga bisa diperhatikan pada persentasi kelas umur yang diserang dan stadium pengidapan. Bila dulu DBD banyak menyerang anak-anak karena daya tahan tubuhnya masih lemah, kini banyak juga menyerang usia dewasa yang daya tahan tubuhnya lebih kuat. Bahkan, orang dewasa yang terkena DBD jumlahnya semakin meningkat. Data tahun 1997 menunjukkan, pengidap DBD usia dewasa sekitar 15,5 persen dari total penderita; tahun 1999 sekitar 33,6 persen, dan tahun 2000 menjadi 38,6 persen.
Tingkat penyerangan dan korban demam berdarah dan malaria tidak dapat dianggap enteng. Sebelum tahun 1997, pengidap DBD usia dewasa umumnya mengidap stadium satu hingga dua. Kini, pengidapnya banyak yang mencapai stadium tiga. Padahal, stadium tiga termasuk tingkat paling berbahaya. Data WHO menunjukkan, setiap tahun, satu sampai dua juta penduduk meninggal karena malaria. Saat ini, setidaknya 270 juta penduduk dunia menderita malaria dan lebih dari 2 miliar atau 42% penduduk bumi beresiko terkena malaria.
Di Indonesia, kasus wabah penyakit malaria terus meningkat. Di luar Jawa dan Bali, terjadi peningkatan sebesar 60% dari 1998 sampai tahun 2000. Di Jawa dan Bali; pada tahun 1998, meningkat dari 18 kasus per 100 ribu penduduk menjadi 48 kasus per 100 ribu penduduk, naik hampir tiga kali lipat. Fenomena semacam ini terjadi juga di Jawa Barat yang sempat dinyatakan bebas malaria. Tentu kita masih ingat, nyamuk malaria yang menyerang masyarakat Sukabumi beberapa tahun yang lalu.
Karena ganasnya, pembasmian nyamuk dengan penyemprotan pun sudah tidak efektif lagi. Malaria sudah tidak mempan lagi dibasmi oleh klorokin. Upik Kesumawati Hadi, Ahli Entomologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor, menjelaskan, perubahan lingkungan yang ekstrim seperti pemanasan global sangat memungkinkan virus dengue berkembang lebih ganas dibandingkan sebelumnya. Lingkungan hidup yang semakin keras menjadikan nyamuk lebih survive sehingga daya tahannya pun otomatis meningkat. Selanjutnya, ketika virus dengue masuk ke tubuh nyamuk yang daya tahannya sudah meningkat, virus itu tentu beradaptasi sehingga daya tahannya pun otomatis meningkat.
Selain meningkatkan demam berdarah dan malaria, pemanasan global juga telah menambah penderita alergi. Berubahnya iklim dunia akibat pemanasan global menyebabkan orang-orang lebih sering bersin dan tingginya angka kematian. Hal ini terjadi karena meningkatnya suhu dan karbondioksida di atmosfer. Di Amerika, sekitar 40 juta orang menderita demam tinggi karena alergi terhadap jerami, sementara 16 juta orang dewasa terserang asma. Rogers (2004), Doktor Harvard University, menyimpulkan, jumlah penderita alergi asma meningkat secara nyata sejalan dengan berubahnya iklim global.
Para Ilmuwan yakin, mendatang, perubahan iklim akan berpengaruh jelas terhadap kesehatan. Meningkatnya angka heat stroke (serangan panas kuat) yang mematikan, infeksi Salmonela dan hay fever (demam akibat alergi rumput kering) di seluruh Eropa akhir-akhir ini berkaitan erat dengan pemanasan global. Di Eropa, gelombang panas telah menewaskan sekitar 25.000 orang. Jumlah yang sangat besar dibanding korban terorisme. Di Inggris, angka kematian tahunan akibat panas diprediksikan akan mencapai 3.300 jiwa pada tahun 2050, dari 800 kematian pada dekade terakhir. Tidak menutup kemungkinan, munculnya penyakit-penyakit misterius yang lebih mematikan seperti flu burung, berkaitan erat dengan pemanasan global.
Ruarr biasa, pemanasan global telah mengancam kehidupan manusia. Manusia tidak ubahnya katak yang sedang digodok dalam sebuah wajan. Bila ini terus berlanjut, kisah hidup manusia akan bernasib seperti harimau jawa yang kini tinggal cerita. Lantas, apa yang mesti dilakukan manusia? Reduce, Reuse, dan Recycle. Itulah kunci menghentikan pemanasan global.
Sebenarnya, kerusakan lingkugan termasuk ancaman pemanasan global telah disadari sejak lama oleh sebagian anak manusia. Tiga puluh lima tahun yang lalu, tepatnya 5 Juni 1972, sebanyak 1.300 utusan dari 113 negara berkumpul mengikuti Konferensi di Stockholm. Konferensi yang mengambil tema “Hanya Ada Satu Planet Bumi” itu dilatarbelakangi oleh permasalahan-permasalahan lingkungan hidup. Saat itulah pertama kalinya diselenggarakan Konferensi Internasional Lingkungan Hidup, dan hingga kini setiap 5 Juni selalu diperingati hari lingkungan hidup sedunia. Konferensi yang diselenggarakan di Swedia itu mencita-citakan planet bumi kembali aman, nyaman, dan layak bagi manusia. Bagaimanakah kondisi planet ini setelah adanya konferensi di Stockholm?
Perusakan lingkungan oleh anak cucu adam (juga oleh kita) tidak pernah terhenti, bahkan semakin merajalela. Kerusakan ini telah memicu terjadinya bencana demi bencana seperti pemanasan global. Musibah ini, mau tidak mau, harus ditanggung oleh sekitar enam setengah milyar penduduk bumi (tentunya manusia), terkadang harus dilunasi oleh tetesan air mata anak manusia.
Pemanasan global terjadi karena tingginya konsentrasi gas-gas rumah kaca (GRK) di atmosfer. Pemanasan global juga diperparah oleh rusaknya hutan hujan tropis, termasuk hutan tropis Indonesia yang berfungsi sebagai penyerap karbon. Gas-gas rumah kaca yang paling berperan dalam pemanasan global ini adalah karbon dioksida (CO2), metana (CH4), nitrogen dioksida (N2O), hydrofluorocarbons (HFCs), Perfluorocarbons (PFCs), dan Sulphur hexafluoride (SF6). Di atmosfer, gas-gas tersebut dapat memantulkan kembali radiasi matahari ke bumi setelah bumi memantulkannya.
Dari manakah gas rumah kaca itu berasal? Ada dua sumber utama gas rumah kaca. Pertama, aktivitas alami, seperti letusan gunung berapi. Kedua, aktivitas manusia. Aktivitas manusia yang bisa menghasilkan gas rumah kaca diantaranya kegiatan industri, penggunaan bahan bakar kendaraan bermotor, penggunaan batu bara, pembakaran hutan, penumpukkan sampah, kegiatan pertanian, dan kita yang sering over dosis mengkonsumsi listrik.
Hasil penelitian menunjukkan, konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer sebagian besar diakibatkan oleh aktivitas manusia. Pertanyaan berikutnya, manusia yang manakah penyumbang terbesar gas-gas rumah kaca ini? Tidak disangsikan lagi, penyumbang terbesar ialah manusia yang mendiami negara maju. Meskipun jumlah negara maju hanya tiga puluh negara dan jumlah penduduknya hanya 20 persen dari penduduk dunia, tetapi buangan bahan bakar fosilnya menyumbang dua pertiga dari total buangan. Sedangkan negara berkembang yang jumlah penduduknya 80 persen dari penduduk dunia, hanya menyumbangkan satu pertiganya saja dari total buangan.
Bila melihat kecenderungannya, peningkatan suhu bumi sepertinya tidak akan pernah berhenti. Michael Oppenheimer dan Brian O'Neill, peneliti lingkungan dari Universitas Princeton dan Universitas Brown Amerika Serikat, mengungkapkan, selama 30 tahun (1965-1995) suhu bumi meningkat sebesar nol koma enam derajat Celcius. Lembaga Penelitian Cina yang diperkuat oleh NASA memperkirakan suhu bumi akan meningkat sedikitnya 5,8 derajat Celcius pada akhir abad ini. Wow! mengerikan bukan?
Bila mengingat dampaknya, maka pemanasan global harus segera dihentikan. Pemanasan global telah menambah daftar masalah yang semakin ruwet. Bumi yang memanas tidak hanya mengancam lingkungan, tetapi juga mengancam kesehatan manusia. Peningkatan suhu bumi telah menambah munculnya wabah penyakit seperti malaria. Tidak percaya?
Di Asia Tenggara, bila semula nyamuk anopheles hanya dijumpai di dataran rendah, kini bisa dijumpai juga di daerah yang lebih tinggi. Papua, contohnya. Pada tahun 1997, penyakit malaria terdeteksi untuk pertama kalinya pada ketinggian 2.100 mdpl. Padahal, sebelumnya, ’nyamuk-nyamuk nakal itu’ tidak dijumpai di daerah setinggi itu. Bahkan, para peneliti memperkirakan bahwa Asia Tenggara termasuk wilayah Indonesia--terutama Sumatera dan Irian Jaya--akan mengalami penambahan daerah-daerah rawan endemik malaria.
Tidak hanya di Asia Tenggara, nyamuk malaria juga sudah menginvasi belahan bumi lainnya, dan akan terus menjadi ancaman. Sebut saja kawasan pegunungan Andes Kolumbia, Amerika Tengah. Nyamuk penyebab penyakit malaria, demam berdarah, dan demam kuning dilaporkan sudah bertengger pada ketinggian 1.000 - 2.195 mdpl. Informasi lain menyebutkan, nyamuk anopheles juga sudah beterbangan di daerah-daerah subtropis dan dataran yang lebih tinggi lainnya, seperti di Afrika Tengah dan Ethiophia.
Mendukung gambaran di atas, Ridad Agoes, Guru Besar Parasitologi Universitas Padjadjaran, mengungkapkan, pemanasan global mengakibatkan nyamuk malaria menyebar ke daerah-daerah yang sebelumnya tidak ada. Padahal selama ini, nyamuk malaria dianggap hanya berkembangbiak pada daerah-daerah tropis yang suhunya lebih dari 16 derajat celcius dan pada ketinggian kurang dari 1.000 meter dari permukaan laut.
Sama seperti penemuan Agoes, Dr.Jonathan Patz, Guru Besar Universitas Wisconsin, menemukan hubungan antara perubahan suhu dengan kasus malaria di Pegunungan Kenya. Beliau mengungkapkan, kasus malaria meningkat selama perubahan panas yang ekstrem. Selain itu, beliau juga mengamati penyebaran virus west nile di seluruh Amerika. Hasilnya, arah penyebaran virus mengikuti pergerakan cuaca yang lebih panas dan kering. Kondisi itulah yang menjadi pilihan nyamuk culex, serangga utama pembawa virus. West nile virus alias virus Nil Barat, merupakan virus penyebab penyakit radang otak.
Selain penyebaran malaria, pemanasan global juga telah menyebabkan meningkatnya penyebaran demam berdarah. Pemanasan global menyebabkan suhu pada beberapa wilayah cocok bagi perkembangbiakan nyamuk malaria dan demam berdarah. Bila nyamuk malaria berkembangbiak pada kisaran suhu 25,25 hingga 27oC, maka nyamuk penyebab demam berdarah lebih lebar lagi, yakni antara 24 hingga 28oC. Karenanya, dapat dipahami jika pemanasan global telah memperluas ruang gerak nyamuk malaria dan demam berdarah.
Masalah lain yang dihadapi berkaitan dengan malaria dan demam berdarah ialah semakin ganasnya tingkat penyerangan kedua virus tersebut. Akibatnya, seolah-olah muncul penyakit baru. Padahal, penyakit itu sebenarnya masih sama yakni demam berdarah dengue (DBD) dan malaria. Demam berdarah yang terjadi di Jakarta dan Surabaya lebih ganas daripada yang terjadi pada tahun 1968. Penderitanya seringkali tiba-tiba shock sekaligus kehilangan kesadaran, disertai pendarahan tanpa didahului bintik-bintik merah di kulit.
Bertambah ganasnya penyakit demam berdarah juga bisa diperhatikan pada persentasi kelas umur yang diserang dan stadium pengidapan. Bila dulu DBD banyak menyerang anak-anak karena daya tahan tubuhnya masih lemah, kini banyak juga menyerang usia dewasa yang daya tahan tubuhnya lebih kuat. Bahkan, orang dewasa yang terkena DBD jumlahnya semakin meningkat. Data tahun 1997 menunjukkan, pengidap DBD usia dewasa sekitar 15,5 persen dari total penderita; tahun 1999 sekitar 33,6 persen, dan tahun 2000 menjadi 38,6 persen.
Tingkat penyerangan dan korban demam berdarah dan malaria tidak dapat dianggap enteng. Sebelum tahun 1997, pengidap DBD usia dewasa umumnya mengidap stadium satu hingga dua. Kini, pengidapnya banyak yang mencapai stadium tiga. Padahal, stadium tiga termasuk tingkat paling berbahaya. Data WHO menunjukkan, setiap tahun, satu sampai dua juta penduduk meninggal karena malaria. Saat ini, setidaknya 270 juta penduduk dunia menderita malaria dan lebih dari 2 miliar atau 42% penduduk bumi beresiko terkena malaria.
Di Indonesia, kasus wabah penyakit malaria terus meningkat. Di luar Jawa dan Bali, terjadi peningkatan sebesar 60% dari 1998 sampai tahun 2000. Di Jawa dan Bali; pada tahun 1998, meningkat dari 18 kasus per 100 ribu penduduk menjadi 48 kasus per 100 ribu penduduk, naik hampir tiga kali lipat. Fenomena semacam ini terjadi juga di Jawa Barat yang sempat dinyatakan bebas malaria. Tentu kita masih ingat, nyamuk malaria yang menyerang masyarakat Sukabumi beberapa tahun yang lalu.
Karena ganasnya, pembasmian nyamuk dengan penyemprotan pun sudah tidak efektif lagi. Malaria sudah tidak mempan lagi dibasmi oleh klorokin. Upik Kesumawati Hadi, Ahli Entomologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor, menjelaskan, perubahan lingkungan yang ekstrim seperti pemanasan global sangat memungkinkan virus dengue berkembang lebih ganas dibandingkan sebelumnya. Lingkungan hidup yang semakin keras menjadikan nyamuk lebih survive sehingga daya tahannya pun otomatis meningkat. Selanjutnya, ketika virus dengue masuk ke tubuh nyamuk yang daya tahannya sudah meningkat, virus itu tentu beradaptasi sehingga daya tahannya pun otomatis meningkat.
Selain meningkatkan demam berdarah dan malaria, pemanasan global juga telah menambah penderita alergi. Berubahnya iklim dunia akibat pemanasan global menyebabkan orang-orang lebih sering bersin dan tingginya angka kematian. Hal ini terjadi karena meningkatnya suhu dan karbondioksida di atmosfer. Di Amerika, sekitar 40 juta orang menderita demam tinggi karena alergi terhadap jerami, sementara 16 juta orang dewasa terserang asma. Rogers (2004), Doktor Harvard University, menyimpulkan, jumlah penderita alergi asma meningkat secara nyata sejalan dengan berubahnya iklim global.
Para Ilmuwan yakin, mendatang, perubahan iklim akan berpengaruh jelas terhadap kesehatan. Meningkatnya angka heat stroke (serangan panas kuat) yang mematikan, infeksi Salmonela dan hay fever (demam akibat alergi rumput kering) di seluruh Eropa akhir-akhir ini berkaitan erat dengan pemanasan global. Di Eropa, gelombang panas telah menewaskan sekitar 25.000 orang. Jumlah yang sangat besar dibanding korban terorisme. Di Inggris, angka kematian tahunan akibat panas diprediksikan akan mencapai 3.300 jiwa pada tahun 2050, dari 800 kematian pada dekade terakhir. Tidak menutup kemungkinan, munculnya penyakit-penyakit misterius yang lebih mematikan seperti flu burung, berkaitan erat dengan pemanasan global.
Ruarr biasa, pemanasan global telah mengancam kehidupan manusia. Manusia tidak ubahnya katak yang sedang digodok dalam sebuah wajan. Bila ini terus berlanjut, kisah hidup manusia akan bernasib seperti harimau jawa yang kini tinggal cerita. Lantas, apa yang mesti dilakukan manusia? Reduce, Reuse, dan Recycle. Itulah kunci menghentikan pemanasan global.
Senin, 26 November 2007
RELATIF
Dari sudut pandang manusia, kebenaran ini sungguh relatif. Terkadang, menurut kita benar, tapi menurut orang lain salah; menurut kita harusnya begini, tapi menurut orang lain harusnya begitu. Kenapa manusia diciptakan dengan pandangan yang berbeda?
AKANKAH?
"Akankah aku menjadi seorang penulis?" itulah pikiran yang selalu wara-wiri dalam pikiranku. "entahlah" itu juga jawaban spontan yang selalu kulontarkan kepada pikiranku sendiri.
Terlepas dari pikiran dan jawaban itu, aku akan selalu berupaya untuk menulis dan berlatih. Aku akan selalu berupaya menulis yang ada dalam pikiranku. Apakah tulisanku berupa sampah atau tidak? aku tidak mempedulikannya. Hal yang harus aku catat, aku harus menulis dan menulis.
Semoga Allah senantiasa memberikan semangat dan kekuatan kepada ku untuk menulis dan menulis. Amiin.
Terlepas dari pikiran dan jawaban itu, aku akan selalu berupaya untuk menulis dan berlatih. Aku akan selalu berupaya menulis yang ada dalam pikiranku. Apakah tulisanku berupa sampah atau tidak? aku tidak mempedulikannya. Hal yang harus aku catat, aku harus menulis dan menulis.
Semoga Allah senantiasa memberikan semangat dan kekuatan kepada ku untuk menulis dan menulis. Amiin.
Langganan:
Postingan (Atom)