Beberapa waktu lalu, wacana Propinsi Cirebon sempat naik daun, bahkan menimbulkan pro dan kontra di berbagai kalangan termasuk di kalangan pemimpin daerah lingkup Wilayah III Cirebon. Terlepas pro dan kontra, bila Propinsi Cirebon terbentuk, propinsi baru ini harus membiayai sendiri, tanpa bantuan Pemerintah Propinsi Jawa Barat. Konsekuensinya, pemerintah akan mengerahkan kabupatennya memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki, terutama sumberdaya alam. Model pemanfaatan sumberdaya alam yang bisa dikembangkan diantaranya ekowisata.
Dari lima kabupaten/kota, Kabupaten Kuningan merupakan daerah yang bisa dikembangkan ekowisata. Bahkan, Kabupaten Kuningan sudah memiliki visi pariwisata yang jelas, yakni “Tahun 2008 sektor pariwisata menjadi andalan perekonomian daerah yang berbasiskan sumberdaya alam, budaya yang lestari, dan agamis”. Untuk mewujudkannya, pembangunan kepariwisataan diutamakan pada penggalian obyek dan pengembangan daya tarik wisata.
Dengan demikian, Kabupaten Kuningan diharapkan menjadi tujuan wisata.
Kabupaten Kuningan memiliki sumberdaya alam yang tinggi dan tersebar merata. Meski pemanfaatannya belum optimal, setiap kecamatan umumnya berpotensi ekowisata. Potensi tersebut berupa air terjun (lembah Cilengkrang), air panas (Sangkanurip), danau/waduk (Waduk Darma, Talaga Remis), kolam renang alami (Cigugur, Cibulan, Linggarjati), dan pemandangan alam (Bumi Perkemahan Palutungan, Gunung Ciremai).
Dari semua itu, sumberdaya alam yang paling berpotensi bagi ekowisata ialah Gunung Ciremai. Selain keanekaragaman hayatinya tinggi, gunung tertinggi di Jawa Barat ini juga memiliki pemandangan yang indah, air terjun, goa, tempat bersejarah, camping ground, dan menawarkan tantangan tersendiri kepada para pendaki. Apalagi sejak tahun 2004, gunung ini menjadi Taman Nasional. Dan sebagai kawasan konservasi, pemanfaatan model ekowisata lebih sesuai daripada model lainnya.
Secara geografis, Kabupaten Kuningan merupakan daerah berbukit dan bergunung sehingga memiliki bentang alam yang sangat menarik. Dan dari sisi konservasi, rupa lahan tersebut harus dijaga dan ditutupi tumbuhan. Bila tidak, Kabupaten Kuningan bertambah rawan terhadap longsor.
Akan tetapi, ada kepentingan lain yang tampaknya saling bertentangan dengan konservasi. Di satu sisi, lahan tersebut harus dilindungi, dan di sisi lain, masyarakat membutuhkan sumberdaya yang dikandungnya. Karena itu, model pemanfaatan sumberdaya yang ramah lingkungan dan sekaligus memberikan hasil optimal bagi masyarakat perlu dikembangkan. Salah satu model yang dinilai mampu mewujudkan kedua kepentingan tersebut ialah ekowisata.
Disadari, tidak semua tapak yang ada di Kabupaten Kuningan layak dikembangkan ekowisata. Tidak semua tapak di Kabupaten Kuningan berestetika tinggi. Padahal model ekowisata mesti dilakukan di kawasan yang berdaya tarik tinggi. Lantas, bagaimana dengan kawasan yang estetikanya rendah? Jelas, di lokasi yang kurang menarik, model ekowisata tidak bisa dipaksakan. Pada kondisi demikian, perlu model lainnya, seperti budidaya tanaman obat, budidaya lebah madu, budidaya perikanan, dan agroforestry.
Sebagai daerah berbukit dan bergunung, Kabupaten Kuningan sangat penting bagi penyangga wilayah sekitarnya. Artinya, Kabupaten Kuningan merupakan pendukung bagi proses-proses kehidupan daerah sekelilingnya. Contohnya, Kabupaten Kuningan menjadi penyuplai air bagi Kabupaten/Kota Cirebon, Kabupaten Indramayu, dan Kabupaten Brebes.
Secara administrasi pemerintahan, Kabupaten Kuningan dikelilingi Kabupaten Ciamis, Kabupaten Brebes, Kabupaten/Kota Cirebon, dan Kabupaten Majalengka. Pada posisi ditengah ini, hutan Kabupaten Kuningan sangat penting bagi daerah sekelilingnya. Selain penyuplai air, hutan ini juga merupakan penghasil oksigen dan penyerap polutan dari daerah sekitarnya. Oleh karena itu, pemilihan model pemanfaatan sumberdaya alam yang menjamin pelestarian hutan mutlak dilakukan.
Sejak tahun 2000, otonomi daerah menjadi energi pengembangan ekowisata Kabupaten Kuningan. Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah merupakan peluang emas bagi Kabupaten Kuningan mengelola dan mengembangkan potensi ekonominya. Melalui kedua kebijakan itu pula Kabupaten Kuningan memiliki kebebasan mengelola sumberdaya alamnya, termasuk ekowisata. Ringkasnya, otonomi daerah membawa angin segar bagi pengembangan ekowisata Kabupaten Kuningan.
Dalam pengembangan ekowisata, aksesibilitas sering dijadikan pertimbangan. Pasalnya, aksesibilitas merupakan salah satu faktor penunjang keberhasilan ekowisata. Meskipun tidak semuanya, tetapi lokasi potensi wisata Kabupaten Kuningan umumnya mudah dikunjungi. Pasalnya, pembangunan sarana transportasi di Kabupaten Kuningan hampir merata. Karena itu, aspek aksesibilitas bukan kendala pengembangan ekowisata Kabupaten Kuningan.
Selain memiliki visi pariwisata, Pemerintah Kuningan juga menjadikan Kuningan sebagai Kabupaten Konservasi. Program ini merupakan refleksi pemerintah daerah terhadap pentingnya pelestarian sumberdaya alam Kuningan sebagai daerah penyangga. Artinya, semua kegiatan pembangunan akan dipadukan dengan kaidah-kaidah konservasi. Dan pemerintah daerah akan berhati-hati dalam memanfaatkan sumberdaya alamnya. Dengan demikian, pengembangan ekowisata merupakan model yang sejalan dengan semangat Kabupaten Konservasi.
Pengembangan ekowisata Kabupaten Kuningan akan lebih menjanjikan lagi bila dikaitkan dengan program pembangunan Kabupaten Majalengka dan Kota Cirebon. Kabupaten Majalengka akan membangun Bandar Udara bertarap internasional, dan Kota Cirebon akan membangun Pelabuhan Samudera. Bagi Kabupaten Kuningan, pembangunan tersebut menjadi peluang emas karena akan memudahkan wisatawan berkunjung ke Kuningan.
Sebagaimana daerah lainnya, pengembangan ekowisata memberikan dampak positif, meski ada juga negatifnya. Keuntungan yang diperoleh diantaranya: pertama, terbukanya lapangan kerja. Salah satu jenis lapangan kerja ialah jasa interpretasi. Penyedia jasa ini umumnya dari masyarakat sekitar, sehingga memperkecil angka pengangguran.
Pada kawasan wisata, keberadaan interpreter sangat penting. Tidak semua pengunjung mengenal dan memahami daerah-daerah yang dikunjunginya. Melalui penjelasan interpreter, pengunjung diharapkan memahami dan memperoleh kesan mendalam atas setiap objek yang dijumpainya. Karena itulah, jasa interpreter diperlukan.
Contoh penyediaan jasa interpretasi yang melibatkan masyarakat setempat bisa dilihat di Cagar Alam Pananjung, Pangandaran. Mereka (interpreters) mendampingi dan menjelaskan kepada pengunjung tentang objek yang dikunjunginya. Imbalannya, pengunjung memberikan upah kepada interpreter.
Kedua, terbukanya lapangan usaha. Banyaknya pengunjung, pembangunan ekowisata memberikan peluang kepada masyarakat membuka usaha-usaha baru seperti restoran/rumah makan, cenderamata, jasa transportasi, dan tempat hiburan. Contoh ini bisa dilihat di Pangandaran, di kawasan wisata Puncak, dan di sekitar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.
Ketiga, menjadikan Kabupaten Kuningan lebih dikenal di dunia luar, terutama internasional. Kawasan wisata yang dikelola baik, tidak hanya menarik wisatawan lokal dan nasional, melainkan juga wisatawan internasional.
Data Dinas Pariwisata Kabupaten Kuningan menunjukkan, periode 1994 hingga 2001, kunjungan wisatawan ke Kabupaten Kuningan berfluktuasi. Hal ini karena krisis ekonomi yang disusul krisis multidimensi pada tahun 1997 hingga tahun 1999. Namun mulai tahun 2000, jumlah kunjungan wisatawan ke Kabupaten Kuningan meningkat lagi. Pada tahun 2000, sebanyak 388.972 pengunjung, terdiri atas 1064 wisatawan manca negara dan 387.908 wisatawan nusantara. Pada tahun 2001 lebih banyak lagi, yakni 521.594 pengunjung, terdiri atas 749 wisatawan manca negara dan 520.815 wisatawan nusantara. Namun, kunjungan wisatawan asing pada tahun 2001 ini terjadi penurunan, diduga pengaruh isu politik di Indonesia, seperti isu terorisme.
Keempat, mempertahankan budaya dan produk lokal. Bagi daerah wisata, dua hal tersebut merupakan kebanggaan dan bernilai jual. Budaya lokal yang ada di Kabupaten Kuningan diantaranya seren taun (meskipun ini lebih cocok disebut wisata budaya). Dan contoh produk lokal yang juga bernilai jual diantaranya jeniper (jeruk nipis peras), peuyeum ketan, kiripik gemblong, sale pisang, wajit, dan opak ketan.
Kelima, meningkatkan Pendapatan Asli Daerah. Dewasa ini, pemanfaatan sumberdaya alam masih berorientasi kayu. Sebaliknya, pemanfaatan non-kayu, seperti ekowisata masih terbatas, sehingga pemanfaatan sumberdaya alamnya belum optimal. Namun, adanya pengembangan ekowisata diharapkan mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya alam dan menambah pemasukan bagi daerah. Selain itu, Pendapatan Asli Daerah juga bisa diperoleh melalui pajak usaha-usaha akibat pengembangan ekowisata.
Gambaran di atas merupakan kekuatan dan peluang Kabupaten Kuningan. Akan tetapi, ada hambatan-hambatan yang harus diatasi seperti rendahnya kemampuan masyarakat mengelola sumberdaya alam. Kondisi ini menyebabkan tidak optimalnya ekowisata Kabupaten Kuningan.
Guna mengatasi hambatan dan mewujudkan peluang, kerja keras harus ditempuh. Hal-hal yang harus dilakukan diantaranya: pertama meningkatkan kemampuan masyarakat, terutama mengelola sumberdaya alam. Kedua, meningkatkan kesadaran masyarakat pentingnya melestarikan sumberdaya alam. Ketiga, membuat kebijakan yang mendukung, harmonis, dan menyeluruh tanpa tumpang tindih dengan kebijakan lainnya. Keempat, menegakan aturan-aturan yang berlaku. Kelima, membangun komitmen antar stakeholder mewujudkan visi pariwisata kabupaten.Luar biasa, Kabupaten Kuningan berpotensi besar bagi wisata alam yang bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pembangunan daerah. Namun, tanpa komitmen semua pihak, peluang tersebut tidak ada artinya. Karena itu, pengembangan ekowisata ini perlu kesungguhan multipihak demi tercapainya pembangunan berkelanjutan di Kabupaten Kuningan khususnya, dan di Wilayah III Cirebon umumnya.
Rabu, 28 November 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar