Selasa, 27 Mei 2008

MENGHIJAUKAN BETON-BETON KOTA

Oleh:
Toto Supartono

Pendahuluan
Pembangunan perkotaan seringkali berbenturan dengan kepentingan lingkungan hidup sehingga pada akhirnya merugikan lingkungan perkotaan itu sendiri. Pesatnya pembangunan perkotaan kerapkali mengurangi ruang-ruang terbuka hijau yang seharusnya dipertahankan. Karena padatnya kendaraan bermotor dan pabrik, perkotaan juga sudah dipastikan sesak oleh polutan-polutan hasil pembakaran bahan bakar. Padahal, ruang terbuka hijau sangat dibutuhkan untuk mengurangi polutan-polutan agar kualitas udara perkotaan tetap stabil atau meningkat.
Mengingat pentingnya ruang terbuka hijau sebagai penjaga kualitas udara dan lingkungannya, harus ada upaya untuk mengatasi benturan kepentingan pembangunan perkotaan dengan kepentingan pelestarian alam. Salah satu alternatif untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah pembangunan taman-taman atap gedung.

Negara-Negara Pelopor Pembangunan Taman Atap
Di beberapa negara maju, pembangunan taman-taman atap gedung perkotaan bukan lagi hal yang baru. Misalnya Jerman dengan nama ecoroof project nya. Bersama dengan Swis, Austria dan Skandinavia, Jerman merupakan pelopor pembangunan ruang hijau atap bangunan di belahan Benua Eropa. Pada tahun 1989, negara yang pernah dipimpin Hitler ini berhasil menghijaukan atap gedung bertingkat seluas satu juta meter persegi dan pada tahun 1996 berhasil menghijaukan seluas 288.000 meter persegi. Dalam kurun waktu tujuh tahun (1989 – 1996), total atap gedung yang berhasil dihijaukan mencapai 10 juta meter persegi dengan proporsi diantara sepuluh atap gedung teradapat satu taman atap. Sebagai salah satu negara pelopor, keberhasilan pembangunan taman atap ini tentunya tidak terlepas dari dukungan peraturan dan finansial pemerintah kota sebesar 35 – 40 DM untuk setiap meter persegi luas atap.
Di Asia, negara yang sudah menerapkan konsep taman atap gedung diantaranya Jepang dan Hongkong. Konsep ini dikenal dengan nama flying green project. Pada tahun 2001, Pemerintah Kota Tokyo menata ulang kota dengan mengharuskan setiap bangunan pemerintah memiliki raung terbuka hijau. Selanjutnya, penyediaan ruang terbuka hijau ini diikuti oleh warga dengan kesadarannya sendiri. Kemudian, sejak 1 April 2004, Pemerintah Jepang memberlakukan aturan yang mewajibkan penyediaan minimum 20% dari areal atap datar gedung bertingkat sebagai ruang hijau. Peraturan ini berlaku untuk setiap pembangunan gedung layanan publik yang memiliki luas minimum 250 meter persegi atau fasilitas komersial privat yang memiliki luas minimum 1.000 meter persegi. Sebagaimana Jepang, Pemerintah Hongkong juga menerapkan aturan yang sama dalam mengelola dan menghijaukan atap gedung. Dalam mensukseskan areal hijau kota, Hongkong telah menerbitkan surat keputusan bersama tiga mentri (bidang Bangunan, bidang Lahan dan bidang Perencanaan) yang memasukan penghijauan atap bangunan dalam standard pembangunan gedung tinggi.Selain contoh di atas, negara-negara lainnya yang sukses membangun taman-taman di atap gedung diantaranya Singapura (skyrise greening project), New York dan Washington (green roof project), Kanada, dan Korea. Untuk Singapura, program penghijauan atap-atap gedung ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan program Singapura sebagai Negara Taman. Untuk Korea, pembangunan taman atap gedung telah menyumbang atas kekurangan areal hijau di kota metropolitan Seoul, dengan luas kota 62.000 ha. Ruang hijau yang disumbangkan dari taman atap ini mencapai sekitar 20.000 ha atau 30 persen dari total kawasan terbangun kota.

Manfaat Pembangunan Taman Atap
Dengan adanya taman atap kota, negara-negara pembuat komitmen telah merasakan banyak manfaatnya. Pertama, menyerap karbondioksida dan menghasilkan oksigen. Karena adanya proses fotosintesis, tanaman akan menyerap karbondioksida dan mengubahnya menjadi oksigen ketika bereaksi dengan air sehingga kualitas udara menjadi lebih baik. Menurut pemberitaan Harian Umum Kompas tanggal 22 Januari 2008, taman atap seluas 155 meter persegi mampu menghasilkan oksigen yang cukup bagi satu orang per hari (24 jam). Sementara itu, taman atap yang dilengkapi pepohonan mampu menghasilkan oksigen yang cukup bagi 10 orang setiap jam.
Beberapa ahli lingkungan menyebutkan, setiap satu hektar lahan hijau dapat mengubah 3,7 ton CO2 dari aktivitas manusia, pabrik, dan kendaraan bermotor menjadi dua ton O2 yang dibutuhkan manusia. Penelitian lainnya juga mengungkapkan, pepohonan di areal seluas 300 x 400 meter mampu menurunkan konsentrasi debu di udara dari 7.000 partikel per liter menjadi 4.000 partikel per liter. Ada juga penelitian yang mengatakan bahwa setiap satu juta atap hijau mampu menyerap 595.000 ton CO2 per tahun. Tidak hanya menyerap karbon dioksida, pemilihan jenis tanaman yang tepat juga mampu menyerap gas-gas polutan, seperti SO2 (sulfur dioksida) dan timah hitam (Pb).
Kedua, menurunkan suhu udara. Keuntungan lain dari adanya taman atap ialah menurunnya suhu bangunan dan lingkungan sekitarnya. Rumput atau tanaman lainnya yang menututpi atap bangunan terbukti mampu menurunkan suhu kota sekitar 4,2 derajat Celcius. Bahkan pada penelitian lainnya menunjukkan, taman atap mampu mendinginkan permukaan bangunan dari 58 derajat Celcius menjadi 31 derajat Celcius, dan menurunkan suhu dalam bangunan 3-4 derajat C lebih rendah dari suhu di luar bangunan. Dengan adanya tanaman pada atap gedung, radiasi matahari akan ditahan, diserap dan dipantulkan kembali ke atmosfer sebelum mengenai atap gedung. Kemampuan tanaman yang berada di atap gedung dalam meredam radiasi sinar matahari ini mencapai 80 persen. Karena itu, tidaklah heran jika suhu di sekitar bangunan jadi menurun.
Ketiga, konservasi air. Pada saat hujan turun, tanaman akan menyimpan sebagian air pada permukaan tubuhnya dan memberikan kesempatan lebih lama kepada air untuk meresap ke dalam tanah/media tanam. Kemudian, sebagian dari air hujan tersebut diuapkan kembali oleh tanaman dan media tumbuh (tanah) dan sebagian lagi dialirkan melalui dasar media. Berkat jasa tanaman, taman atap mampu mengkonservasi dan menyerap air hujan sampai 75 persen. Selanjutnya, air-air yang tersimpan ini dapat dimanfaatkan untuk menyiram kloset dalam gedung, menyiram tanaman, dan mencuci kendaraan para pengguna gedung.
Keempat, menghemat energi. Karena kemampuannya dalam meredam radiasi matahari dan menyimpan sementara air hujan pada lapisan tanah sehingga atap menjadi lebih dingin, maka taman atap dapat mengurangi penggunaan energi listrik untuk perangkat pendingin udara (AC). Besarnya energi listrik yang dapat dihemat untuk pemakaian AC oleh sebuah gedung karena adanya taman atap mencapai 50 – 70 persen atau total hemat listrik sekitar 15 persen per tahun.
Kelima, tempat rekreasi alternatif. Perubahan tampilan atap gedung dari kondisi kaku dan gersang menjadi atap yang hijau tidak hanya memberikan kesan hidup, melainkan juga memberikan kesan yang nyaman. Terlebih lagi jika atap tersebut dipadukan dengan tanaman yang memiliki nilai-nilai estetika yang sangat tinggi, selain memberikan kenyamanan juga akan mempersembahkan rasa senang. Karena itu, taman atap gedung memiliki potensi sebagai tempat rekreasi terbatas.
Keenam, meningkatkan kesehatan. Gedung atau kondisi lingkungan yang tidak sehat banyak menimbulkan penyakit mulai asma hingga penyakit pernapasan lain. Taman atap dapat membantu menyerap debu dan polutan yang berada di sekitar gedung atau bangunan. Terserapnya berbagai polutan dan dihasilkannya oksigen oleh tanaman atap menyebabkan membaiknya kualitas udara disekitar gedung sehingga kesehatan para penghuninyapun akan meningkat.
Ketujuh, meningkatkan keanekaragaman hayati. Adanya penanaman dengan berbagai jenis tanaman berarti telah meningkatkan keragaman hayati di lingkungan perkotaan. Tidak hanya itu, adanya berbagai tanaman di atas gedung juga berarti penyediaan sumber pakan dan habitat satwliar sehingga menarik berbagai jenis hewan. Karena itu, pembangunan taman atap memberikan peluang untuk meningkatkan keanekaragaman hayati, baik flora maupun fauna di lingkungan perkotaan.
Selain ketujuh manfaat di atas, taman atap memiliki banyak manfaat lainnya. Misalnya, taman atap mampu melindungi lapisan penahan air (waterproofing) atap dari radiasi ultra-violet, fluktuasi ekstrem suhu udara, dan kerusakan fisik, sehingga dapat memperpanjang usia lapisan sampai 20 tahun ke depan.

Model Taman Atap
Desain ruang hijau atap dapat bervariasi dan ditentukan oleh konstruksi bangunan gedung, fungsi dan tingkat pengelolaan (pemeliharaannya). Pembangunan taman atap sudah berkembang mulai dari model yang sederhana hingga modern. Baik pada model sederhana maupun modern, pengembangan taman atap mensyaratkan memiliki atap yang kuat karena harus mampu menahan beban. Pada model yang sederhana, taman atap dapat berupa penempatan pot-pot yang berisi tanaman pada atap gedung. Pot yang digunakan tidak perlu yang mahal, bahkan bisa menggunakan barang bekas, seperti bekas ember, wadah cat, drum, dan lain-lain. Yang penting, tanaman tersebut mampu menyerap gas-gas polutan dan menurunkan suhu udara sekitar.
Pada model yang modern, taman atap didesain dengan cermat dan terdiri dari beberapa lapisan. Lapisan ini terdiri atas lapisan dasar anti bocor (waterproofing), jaringan saluran air bawah tanah (sub drainage), lapisan media tanah (geotextile atau ijuk dan pasir), median tanam (tanah subur, topsoil), dan tanaman penutup tanah (rumput, pengalas, semak). Untuk menjaga keawetan atap, penanaman pohon kecil hendaknya dilakukan pada bak-bak pot tanam. Berkat teknologi yang cukup mutakhir, lapisan media taman atap dapat mencapai ketebalan 10–20 sentimeter.
Untuk meningkatkan daya tarik, taman atap dapat dikombinasikan dengan berbagai fasilitas. Taman atap dapat dikembangkan menjadi taman kafe terbuka, kolam renang, lapangan olahraga atau mini golf (hotel, apartemen, gedung perkantoran, pusat perbelanjaan), kebun sayuran organik (apartemen, rumah susun, pusat perbelanjaan), taman terapi (rumah sakit, pusat klinik kesehatan, apartemen lansia), atau plaza penghubung antargedung (perkantoran, apartemen, hotel, pusat perbelanjaan) yang dapat digabungkan dengan stasiun kereta api atau monorel.

Pemilihan Jenis Tanaman
Tanaman yang digunakan dalam pengembangan taman atap bisa dipadukan dengan berbagai jenis tanaman, sehingga memiliki fungsi yang maksimal. Jenis yang ditaman dapat berupa gabungan dengan rerumputan, tanaman hias, tanaman berkayu, bahkan tanaman sayuran. Namun, penanaman sayuran harus dipertimbangkan secara matang ketika tingkat pencemaran udara kotanya sangat tinggi, terutama oleh pencemaran timbal. Timbal yang masuk ke dalam tubuh manusia dengan konsentrasi tinggi dapat menurunkan tingkat kecerdasan manusia.
Tanaman yang daunnya berbulu (trikoma) efektif untuk menyerap debu. Jenis tanaman yang memiliki bulu daun antara lain trengguli, johar, flamboyan, dan bunga lampion. Tanaman ini cocok ditanam di daerah berdebu, seperti kawasan pabrik semen, pinggir jalan, dan lain-lain. Jenis kacang-kacangan atau leguminosae tahan terhadap polutan. Jenis tersebut diantaranya angsana, trembesi, dan akasia. Tanaman jenis kacang-kacangan juga mampu meningkatkan kesuburan tanah. Jenis lainnya yang patut dipertimbangkan adalah dadap (toleran pada lahan bergaram dan memiliki bunga yang indah); flamboyan (tahan kering); bunga kupu-kupu (menyerap SO2); asem londo (menyerap Pb); kersen dan sawo kecik (mampu menyerap partikel padat); cempaka, tanjung dan kenanga (dapat menyerap bau busuk); kedondong (menurunkan kebisingan). Jenis yang banyak dilupakan orang adalah tanaman merambat. Jenis ini sangat bermanfaat karena bisa menjalar di dinding, di pagar, di atap pergola, bahkan bisa dililitkan di batang pohon atau tiang listrik.

Pembangunan Taman Atap di Kota-Kota di Indonesia
Indonesia, khususnya kota-kota besar yang ada di Pulau Jawa, sudah sepatutnya mencontoh konsep-konsep pembangunan taman atap sebagaimana yang telah dilakukan oleh negara-negara contoh di atas. Jakarta misalnya. Penerapan konsep taman atap gedung sangat penting dilakukan mengingat banyak sekali jalur hijau atau ruang terbuka hijau yang dibabat untuk sarana dan prasarana transportasi seperti jalur bus way. Apalagi, Ibu Kota Negara Indonesia ini memiliki peringkat ketiga di dunia setelah Mexico City dan Bangkok dalam hal tingkat polusi udaranya.
Kini, Jakarta baru memiliki ruang terbuka hijau seluas 6.900 ha atau sekitar 10 persen dari luas wilayah. Target pemerintah DKI Jakarta untuk menyediakan ruang terbuka hijau sebesar 13,94 persen. Ini masih jauh tertinggal di bawah kota-kota besar di negara lain. New York menargetkan sekitar 25,2 persen pada 2020; Tokyo menargetkan 29 persen menjadi 32 persen pada 2015; London menargetkan 39 persen pada 2020; Singapura menargetkan 19 persen, dengan lahan hijau cadangan 37 persen pada 2034; Beijing menargetkan 38 persen menjadi 43 persen pada 2008; dan Curitiba menargetkan 17 persen, dengan lahan hijau cadangan 13 persen pada 2020.
Data pada paragraf di atas menunjukkan, kota-kota besar di negara-negara tersebut memiliki target penyediaan ruang terbuka hijau yang semakin bertambah. Bagaimana dengan DKI Jakarta? Berdasarkan Rencana Induk Djakarta 1965-1985, Jakarta mengalokasikan ruang terbuka hijau seluas 37,2 persen. Selanjutnya, dalam Rencana Umum Tata Ruang Jakarta 1985 – 2005 berubah menjadi 25,85 persen. Kemudian, dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Jakarta 2000 – 2010, Jakarta menyisakan target ruang terbuka hijau hanya sebesar 13,94%. Ini menunjukkan kekurangpedulian Pemerintah DKI Jakarta dalam melestarikan dan meningkatkan kualitas lingkungan hidup.
Menyempitnya ruang terbuka hijau kemungkinan besar tidak hanya di alami oleh Jakarta, melainkan juga dialami oleh kota-kota besar lainnya di Indonesia. Terlebih lagi gedung-gedung yang berdiri di kota-kota besar belum mengembangkan taman atap atau paradigma gedung hijau. Memberlakukan peraturan taman kota di atap gedung merupakan salah satu cara yang bisa dilakukan guna membantu mengurangi polutan dan menyerap hawa panas kota.

Kesimpulan
Kepentingan pembangunan seringkali ditempatkan di atas kepentingan lingkungan hidup. Karena itu tidaklah heran bila ruang terbuka hijau makin menyempit dan gedung-gedung bertingkat makin bertambah banyak.
Bagi kota-kota besar, keberadaan taman atap sangat penting. Ini karena taman atap memiliki banyak manfaat seperti, menyerap polutan, menurunkan suhu udara kota, menghasilkan oksigen, tempat rekreasi, meningkatkan kesehatan, meningkatkan atau menjaga keanekaragaman hayati, dan mengawetkan usia bangunan. Karena pentingnya keberadaan taman atap, Pemerintah Indonesia hendaknya memberlakukan pembangunan taman-taman atap pada pengelola bangunan, baik instansi pemerintah maupun swasta.


DAFTAR PUSTAKA

Nirwono Jogja. 2008. Kurangi Pemanasan Bumi dengan Taman Atap. http://rumahjogja.com/index.php.

Indriasari, L. 2007. Mengurangi Polutan Udara Dengan Tanaman. Kompas, 9 Desember 2007, dalam http://celotehlingkungan.blogspot.com.

Liputan6.com. 2007. Pemanasan Global Ancaman Bagi Dunia. http://www.liputan6.com/news.

Sindo Edisi Sore Ragam. 21/02/2008. Green Building, Investasi yang Menguntungkan. http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/ragam/green-building-investasi-yang-menguntungkan.html

Pramukanto, K. 2005. Taman Atap: Stepping Stone Hijau Jejaring Ekologi Kota. Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, IPB. Bogor.

Tidak ada komentar: