Selasa, 27 Mei 2008

AGAR ECENG GONDOK TIDAK BIKIN GONDOK

Oleh:
Toto Supartono
Pendahuluan
Eceng gondok yang memiliki nama ilmiah Eichornia crassipes merupakan tumbuhan air dan lebih sering dianggap sebagai tumbuhan pengganggu perairan. Eceng gondok memiliki tingkat pertumbuhan yang sangat cepat. Dalam tempo 3–4 bulan saja, eceng gondok mampu menutupi lebih dar 70% permukaan danau. Cepatnya pertumbuhan eceng gondok dan tingginya daya tahan hidup menjadikan tumbuhan ini sangat sulit diberantas. Pada beberapa negara, pemberantasan eceng gondok secara mekanik, kimia dan biologi tidak pernah memberikan hasil yang optimal. Ada juga hasil penelitian yang menunjukkan bahwa eceng gondok berpotensi menghilangkan air permukaan sampai 4 kali lipat jika dibandingkan dengan permukaan terbuka. Pertumbuhan populasi eceng gondok yang tidak terkendali menyebabkan pendangkalan ekosistem perairan dan tertutupnya sungai serta danau.
Selain sisi gelapnya, tumbuhan yang aslinya berasal dari Brazil ini juga ternyata memiliki sisi terangnya. Beberapa penelitian menunjukkan, eceng gondok dapat menetralisir logam berat yang terkandung dalam air. Pada beberapa daerah, eceng gondok bermanfaat sebagai bahan baku kerajinan tangan. Karena kandungan seratnya yang tinggi, eceng gondok bahkan dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku industri. Di Thailand, eceng gondok sudah menjadi komoditi petani, dibuat plot-plot seperti pencetakan sawah-sawah di Jawa. Di negara gajah putih ini, eceng gondok juga telah menjadi bahan baku industri kerajinan rakyat.

Pengolah Limbah Domestik
Dari berbagai hasil penelitian, eceng gondok terbukti mampu menyerap zat kimia baik yang berasal dari limbah industri maupun rumah tangga (domestik). Karena kemampuannya itu, eceng gondok dapat dimanfaatkan untuk mengolah limbah kedua sumber tersebut (industri dan rumah tangga) secara biologi.
Salah satu gambaran untuk mengetahui kemampuan eceng gondok dalam mengelola limbah domestik adalah hasil penelitian Djaenudin (2006). Pada penelitian ini, air yang digunakan berasal dari pembuangan air limbah domestik Desa Tlogomas, Kotamadya Malang, Provinsi Jawa Timur. Air limbah ini ditambung dalam sebuah reaktor dengan volume 58,8 meter kubik, ketebalan dinding dan alas berbeton mencapai 20 cm. Reaktor ini dilengkapi dengan inlet (tempat masuknya air) dan inlet (tempat keluarnya air). Bagian dasar reaktor diisi dengan kerikil (berdiameter antara 3-4 mm) hingga terisi tiga perempat dari kedalaman reaktor. Eceng gondok ditanam seluas setengahnya dari luas permukaan reaktor. Lama penyimapanan air dalam reaktor adalah 3,17 hari.
Penelitian tersebut memperoleh hasil sebagai berikut: nilai TSS (total padatan terlarut) outlet rata-rata 180 mg/l, sudah di bawah nilai baku mutu yang dipersyaratkan yaitu 200 mg/l. Nilai rata-rata efisiensi pengolahan TSS 31,7. Nilai Total-P outlet rata-rata 0,8 mg/l, masih di atas nilai baku mutu yang dipersyaratkan yaitu 0,1 mg/l. Nilai rata-rata efisiensi pengolahan Total-P 42,64. Nilai Total-N outlet rata-rata 32,5 mg/l, masih di atas nilai baku mutu yang dipersyaratkan yaitu 20 mg/l. Nilai rata-rata efisiensi pengolahan Total-N 52,13 Nilai COD outlet rata-rata 225 mg/l, masih berada di atas nilai baku mutu yang dipersyaratkan yaitu 100 mg/l. Nilai rata-rata efisiensi pengolahan COD 42,1. Nilai pH air limbah tidak mengalami perubahan secara berarti yaitu berkisar antar nilai 6 dan 8. Penggantian tanaman sebaiknya dilakukan sebulan sekali. Meskipun hampir sebagian besar parameter yang diamati masih berada di atas baku mutu yang dipersyaratkan, eceng gondok telah mampu mengurangi kandungan zat-zat pencemar dalam perairan. Dengan demikian, untuk mengembalikan kualitas air, pengolahan secara biologi ini harus dilakukan secara berulang.

Penyerap Logam Berat
Dewasa ini, pencemaran logam berat merupakan salah satu permasalahan yang banyak dihadapi oleh ekosistem perairan. Umumnya, upaya penanganan pencemaran logam berat memerlukan biaya yang cukup mahal. Namun, eceng gondok menawarkan pemecahan masalah tersebut dengan biaya yang cukup murah. Beberapa logam berat yang sering mencemari ekosistem perairan diantaranya Fe, Mg, Mn, Pb, dan Ni.
Menurut Widyanto dan Suselo (1977), kemampuan eceng gondok dalam menyerap logam berat tergantung pada beberapa hal, seperti jenis logam berat dan umur gulma. Penyerapan logam berat per satuan berat kering tersebut lebih tinggi pada umur muda daripada umur tua. Logam berat beracun yang dapat diserap oleh eceng gondok terhadap berat keringnya adalah Cd (1,35 mg/g), Hg (1,77 mg/g), dan Ni (1,16 mg/g) dengan larutan yang masing-masing mengandung logam berat sebesar 3 ppm. Muramoto dan Oki (1983) mengungkapkan, eceng gondok mampu menyerap logam berat Cd sebesar 1,24 mg/g; Pb sebesar 1,93 mg/g; dan Hg sebesar 0,98 mg/g terhadap berat keringnya yang ditumbuhkan dalam media yang mengandung logam berat 1 ppm. Sementara itu, hasil percobaan Chigbo et al. (1980) menunjukkan, Hg dan As yang mampu diserap oleh logam berat masing-masing sebesar 2,23 dan 3,28 mg/g dari berat keringnya.
Berdasarkan bagian tanamannya, logam berat yang terserap lebih banyak berkumpul di akar daripada di bagian lainnya. Misalnya hasil penelitian Jana dan Das (2003) untuk penyerapan Cd. Pada bagian akar, konsentrasi Cd berkisar 125 – 152 mikrogram per gram berat kering akar, dan pada bagian daun sebesar 21 – 63 mikrogram per gram berat kering daun.
Selanjutnya, eceng gondok juga ternyata mampu menyerap uranium yang terlarut dalam perairan. Menurut Yatim (1991), uranium yang diserap dan terakumulasi pada akar sekitar 40 – 60%, dan dapat terlepas pada pembilasan. Hasil penelitian selanjutnya menunjukkan, tingkat penyerapan uranium oleh eceng gondok dipengaruhi pH, kadar nutrisi larutan dan berat awal eceng gondok. Pada pH yang lebih rendah, penyerapan uranium oleh eceng gondok lebih banyak karena pada kondisi pH ini uranium terdapat dalam bentuk ion uranil yang stabil dan mempunyai ukuran ion yang lebih kecil.
Uranium juga lebih banyak diserap oleh eceng gondok yang memiliki massa lebih besar. Ini karena eceng gondok yang lebih berat mempunyai permukaan akar yang lebih luas. Akan tetapi, pada larutan nutrisi yang lebih pekat, penyerapan uranium oleh eceng gondok cenderung berkurang. Ini karena adanya peningkatan kompetisi antara penyerapan uranium dengan penyerapan unsur nutrisi oleh tanaman. Pada larutan Hoagland 10% dengan pH 5 dan kandungan uranium 8 – 12 ppm, kapisitas penyerapan uranium dalam kondisi maksimal, yakni berkisar antara 500 - 600 µg per gram berat kering eceng gondok setelah 10 - 12 hari. Pada kondisi ini, laju pertumbuhan eceng gondok sekitar 3% berat kering per hari. Pada larutan limbah, kapasitas eceng gondok menyerap uranium sekitar 200 µg per gram berat kering tanaman setelah 8 hari laju, dan laju pertumbuhannya mencapai 2 % berat kering per hari.
Pada populasi 1 ha, kapasitas eceng gondok menyerap uranium (dengan tetap memperhatikan pertumbuhannya) sekitar 2,16 kg (pada larutan Hoagland) dan 0,98 kg (pada larutan limbah). Dengan memperhitungkan fraksi uranium yang terbilas, pengurangan uranium dari larutan Hoagland dan limbah masing-masing sekitar 3, 16 dan 1,76 kg. Dengan demikian, eceng gondok mempunyai potensi dimanfaatkan sebagai kolektor uranium.

Bahan Baku Pulp dan Kertas
Di saat sedang menurunnya pasokan kayu tropis dan meningkatnya kerusakan hutan, eceng gondok dapat dijadikan sebagai penyedia bahan baku pulp yang bernilai ekonomis. Menurut Patt (1992), proses pulping kimia masih dianggap menguntungkan secara ekonomis apabila nilai rendemen tersaring di atas 40% dan bilangan Kappa dibawah 25. Hasil penelitian Supriyanto dan Muladi (1999) menunjukkan, rendemen tersaring pulp eceng gondok sekitar 44,28% dan bilangan Kappa sebesar 16,55. Sementara itu, sifat fisika dan mekanika kertas yang dihasilkan pada nilai interpolasi derajat giling 40ºSR meliputi: kerapatan kertas sebesar 0,993%, kekuatan tarik sebesar 4060 m, kekuatan retak sebesar 338 kPa dan kekuatan sobek sebesar 346 mN. Berdasarkan data tersebut, maka kualitas pulp dan kertas dari eceng gondok menurut standar tergolong dalam kelas kualita II. Dengan demikian, eceng gondok memiliki prospek sebagai bahan baku kertas yang bernilai ekonomis cukup tinggi.

Bahan Baku Pupuk Organik
Dalam industri pupuk alternatif, eceng gondok juga dapat dijadikan sebagai bahan baku pupuk organik. Ini karena mengandung N, P, K, dan bahan organik yang cukup tinggi. Daerah yang sudah mengembangkan pabrik pupuk berbahanbaku eceng gondok adalah Kabupaten Lamongan. Ketika pertama kali berproduksi ditahun 2001 pabrik pupuk eceng gondok mempunyai kapasitas produksi 5-7 ton sehari. Kini setelah ada penambahan mesin baru maka kapasitas produksi ditingkatkan hingga mencapai 15 ton sehari. Pupuk organik yang dihasilkan dari pabrik ini diberi nama Pupuk Maharani.
Untuk mendapatkan pupuk organik yang berstandar internasional, pupuk ini diberi campuran bahan lainnya. Bahan tersebut adalah kotoran binatang (ayam, sapi atau lembu) serta ramuan enrichment yang diperoleh dari pengkomposan. Enrichment adalah sebuah formula khusus agar kadar standar organiknya tercapai. Berdasarkan hasil uji laboratorium, pupuk ini memiliki kandungan unsur hara N sebesar 1,86%; P205 sebesar 1,2%; K20 sebesar 0,7%; C/N ratio sebesar 6,18%; bahan organik seebsar 25,16% serta C organik:19,81. Dengan kandungan seperti ini, pupuk dari eceng gondok mampu menggantikan pupuk anorganik,dan dapat mengurangi penggunaan bahan kimia hingga 50% dari dosisnya. Sebagai bahan perbandingan, Winarno (1993) menyebutkan, eceng gondok dalam keadaan segar memiliki komposisi bahan organic 36,59%, C organic 21,23% N total 0,28%, P total 0,0011% dan K total 0,016%.
Penggunaan pupuk organik berbahan baku eceng gondok memberikan hasil yang sangat menggembirakan. Anakan (percabangan) dari tiap batang lebih banyak dibandingkan awalnya. Dengan tambahan pupuk Maharani, diperoleh 18-20 anakan padi. Sedangkan dengan urea, hanya diperoleh 14-16 anakan padi. Tanaman yang diberi tambahan pupuk organik juga memiliki warna daun merata hijau. Sementara itu, tanaman yang diberi urea, awalnya memiliki daun berwarna hijau tapi lama kelamaan kekuningan. Tidak hanya itu, tanaman padi yang diberi tambahan pupuk organik ini memiliki batang yang lebih kuat dari tiupan angin dan tampilan fisiknya lebih tegak.
Hasil yang memuaskan tidak hanya berupa tampilan fisik, melainkan juga berupa produksi dan biaya yang dikeluarkan. Penggunaan pupuk organik telah meningkatkan produksi gabah rata-rata 500 kg tiap hektarnya. Dari segi biaya, penggunaan pupuk organik menghasilkan efisiensi pupuk Rp. 265.000/ha/panen. Sebab, dengan menggunakan pupuk anorganik, rata-rata biaya yang dibutuhkan sebesar Rp 900.000 per hektar. Sedangkan dengan tambahan pupuk organik, biaya yang dibutuhkan sebesar Rp 635.000 per hektar. Komposisi pemberian pupuk tiap 1 hektare sawah padi terdiri atas 500 kg pupuk organik dan 150 kg urea, tanpa tambahan KCL (Siagian, 2006).

Sumber Pakan Ternak dan Ikan
Sebagaimana tanaman lainnya, eceng gondok dapat dijadikan pakan ternak. Karena tingginya kandungan serat kasar, eceng gondok harus diolah terlebih dahulu. Salah satu teknik pengolahannya adalah melalui teknologi fermentasi. Pada proses ini, eceng gondok diolah menjadi tepung, kemudian difermentasi secara padat dengan menggunakan campuran mineral dan mikroba Trichoderma harzianum yang dilakukan selama 4 hari pada suhu ruang.
Proses fermentasi ini mampu meningkatkan nilai gizi yang terkandung dalam eceng gondok. Protein kasar meningkat sebesar 61,81% (6,31 ke 10,21%) dan serat kasar turun 18% (dari 26,61 ke 21,82%). Pada saat dikonsumsikan pada ayam, eceng gondok fermentasi tidak menimbulkan pengaruh yang berbeda secara nyata terhadap konsumsi, bobot hidup, konversi pakan, persentase karkas, lemak abdomen dan bobot organ pencernaan (proventrikulus dan ventrikulus), meskipun terdapat kecendrungan penurunan nilai gizi pada peningkatan produk fermentasi eceng gondok. Karena itu, eceng gondok fermentasi dapat dicampurkan sampai tingkat 15% dalam ransum ayam pedaging (Mahmilia, 2005).
Pada penelitian lain, daun eceng gondok dapat dimanfaatkan sebagai pakan pelet tepung untuk budidaya ikan, meski tidak sebaik pelet komersil. Ikan yang digunakan pada penelitian ini adalah jenis nila. Pemeliharaan dilakukan selama 8 minggu dengan perlakuan pellet bertepung daun eceng gondok 10%; 20%; 30%; dan pembanding (tanpa campuran pelet tepung). Hasil penelitian menunjukan bahwa pemberian pellet betepung daun eceng gondok 10% memberikan pengaruh terbaik bagi pertumbuhan nisbi (193,25%), nilai efisiensi pakan (40,31%). Akan tetapi, pemberian pellet komersil sebagai pembanding masih lebih baik dibandingkan dengan pemberian pellet bertepung daun eceng gondok, baik pertumbuhan nisbi maupun nilai efisiensi pakan (Timburas, 2000).

Bahan Baku Kerajinan Tangan
Di tangan orang-orang kreatif, membludaknya populasi eceng gondok bukanlah sebuah musibah melainkan sebuah anugrah. Di tangan orang-orang kreatif inilah, eceng gondok dapat disulap menjadi benda-benda yang sangat menarik dan berdayaguna, seperti sandal jepit, tas cantik, kursi, dan lain-lain.
Pemandangan tangan-tangan kreatif dalam mengubah eceng gondok bisa disaksikan di Dusun Pengaron, Desa Pengumbulandi Tikungan, Kabupaten Lamongan. Menjelang matahari terbenam, di pinggir jendela sebagian besar rumah di sana, jari-jari lentik perempuan muda dengan lincah menganyam helai demi helai serat eceng gondok. Dengan ulet dan terampil, mereka menyulap helayan eceng gondok kering menjadi sebuah tas. Dalam sehari, rata-rata setiap orangnya mampu menyelesaikan lima tas anyaman. Setiap satu tas ia mendapat upah Rp 2.250 hingga 4.000. Dengan demikian, penghasilannya mencapai Rp 500.000 per bulannya.
Tas-tas yang sudah tersebut ditampung pada seorang pengusaha. Dalam sebulan, tas yang terkumpul bisa mencapai 1.500-2.000 tas. Kemudian, tas-tas tersebut dikirim ke department store terkenal seperti, Sarinah Thamrin di Jakarta, berbagai art shop di Bali dan Surabaya. Tidak hanya itu, tas-tas itu juga sudah diekspor ke beberapa negara seperti Taiwan dan Malaysia. Setiap bulannya, sekitar 1.600 tas ke dua negara itu dan umumnya dijual dengan harga minimal Rp 15.000.
Tidak diragukan lagi, eceng gondok berpotensi meningkatkan pendapatan masyarakat. Tidak hanya pengrajin, tambahan pendapatan ini juga dapat dirasakan oleh para pengumpul eceng gondok dari rawa-rawa, sungai, atau waduk. Misalnya di Kabupaten Simalungun, eceng gondok basah dihargai Rp 200 per kilogram dan eceng gondok kering Rp 6.000 per kilogram (Malau, 2006). Selain dijadikan tas, di Simalungun ini, eceng gondok dijadikan juga sebagai sandal, baki, topi, dan barang-barang lainnya, kemudian dia jual di hotel-hotel dan lokasi pariwisata Prapat.
Kisah sukses pengrajin eceng gondok lainnya yang patut ditiru adalah bernama Lita. Dia seorang pengusaha wanita dari Surabaya. Karena berkreatif memanfaatkan produk yang ramah lingkungan itu, pada tahun 2000, dia pernah mendapat hadiah kalpataru lingkungan. Pada awal usahanya, dia hanya membuat aksesoris rumah seperti, tempat koran, tempat pinsil, tempat sampah, tas, tempat tisu, dan souvenir kecil lainya. Pada perkembangan berikutnya, wanita yang telah memiliki 150 karyawan ini mulai mengembangkan bentuk meubel seperti sofa, meja, dan produk lainnya. Karena bentuknya yang unik, produk-produk tersebut banyak diminati dan diekspor ke Jepang, Italia, Kuala Lumpur, Belanda, dan Eropa dengan harga yang cukup tinggi per unitnya. Sofa, misalnya, dapat dihargai Rp 4 – 15 juta per unitnya.

Kesimpulan
Jelas sudah, enceng gondok memiliki banyak manfaat, baik manfaat ekologi dan manfaat ekonomi. Dari sisi ekologi, eceng gondok mampu meningkatkan kualitas air yang tercemar. Berkat eceng gondok, logam berat dan polutan lainnya bisa diserap dari ekosistem perairan. Dari sisi ekonomi, eceng gondok mampu memberikan pendapatan tambahan bagi masyarakat. Di tangan orang-orang kreatif, tumbuhan ini bisa berubah menjadi barang-barang yang bermanfaat (seperti sandal, tas, bahkan sofa) sehingga bernilai ekonomi tinggi. Akhirulkata, eceng gondok bukanlah musibah, melainkan anugrah.

Tidak ada komentar: