Minggu, 20 Juli 2008

ARGOJATIKU..... KOK ANJLOK SIH.....

Jarang, memang, saya naik kereta. Ketika kuliah di Bogor, intensitas naik KRL Bogor - Jakarta bisa dihitung dengan 10 jari. Berbeda dengan temen saya, hampir tiap hari dia naik kendaraan yang berjalan di atas besi panjang itu. Karena seringnya, dia iseng-iseng menggabung-gabungkan tiket itu. Luar biasa, gabungan tiket itu mencapai sebesar tiker.

Enam hari yang lalu, tepatnya 16 Juli 2008, saya bersama temen sepekerjaan berangkat dari Stasiun Cirebon menuju Stasiun Gambir, Jakarta. Kereta yang saya tumpangi adalah Argojati, harga tiket Rp.83 ribu. Saya kebagian tempat duduk di gerbong 6 (nomor kursinya lupa). Tidak terlalu sulit mencari gerbong 6 itu, karena begitu saya berada di dekat kereta saya langsung menghampiri seorang petugas dan menanyakan gerbong 6. Dengan ramah, petugas (perempuan) itu menunjukkan gerbong yang saya maksud. Di dalam gerbong, para penumpang sudah menempati tempat duduknya masing-masing. Gerbong itu hampir penuh, sekitar 5- 8 kursi saja yang belum terisi. Kursi di depan saya sudah diisi oleh perempuan berkerudung dan seorang putrinya yang juga berkerudung. Kursi di belakang saya diisi oleh laki-laki keturunan tionghoa dan seorang anaknya. Sementara kursi di samping kanan saya diisi oleh laki-laki muda keturunan tionghoa juga.
Pukul 14.00 kereta mulai meluncur menuju Jakarta, dengan tujuan akhir Stasiun Gambir. Dalam perjalanan menuju Jakarta itu, saya begitu menikmati pemandangan yang dilewati kereta. Sawah yang kering kerontang, padi yang menguning dan para petani yang sedang sibuk memanen padi terlihat silih berganti. Keretapun melaju kencang.
Sekitar satu setengah jam setelah meninggalkan Stasiun Cirebon saya merasakan roda kereta menggilas benda yang sangat keras, seperti kendaraan roda empat melewati polisi tidur, sehingga menimbulkan goncangan yang tidak wajar. Karena goncangannya itu, teman saya yang berada di samping kiri yang semula tertidur pulas, jadi terbangun. Meski sedikit janggal, saya hanya berdiam diri. Sekitar 30 detik kemudian, kereta yang tadinya melaju kencang sedikit-sedikit mengurangi kecepatannya, dan akhirnya berhenti.
Melalui jendela sebelah kiri, iseng-iseng saya melirik ke arah luar. Di arah luar sana, saya melihat beberapa penduduk berlarian menuju arah belakang yang baru saja kami lewati. Ternyata, tidak hanya saya yang melihat penduduk berlarian itu, penumpang yang lainnya pun melihat hal yang sama. Karena penasaran, para penumpang (termasuk saya dan teman saya) mendekat ke arah pintu keluar- masuk. Pada saat memalingkan kepala ke arah belakang, saya melihat gerbong yang tertinggal dengan posisi ke luar rel, dan miring ke kiri. Di seberang sana, para penduduk berteriak "anjlok....anjlok....keretanya anjlok....".
Para penumpang yang sangat penasaran berloncatan ke bawah, termasuk temen saya yang baru terbangun itu. Para petugas kereta mulai tampak sibuk. Sebagian diantara mereka ada yang menjinjing kunci inggris dan linggis, dan sebagian lagi ada yang sibuk berkomunikasi melalui selulernya (kemungkinan sedang menelpon kantor pusatnya). Beberapa penumpang yang sudah berada di bawah sepertinya ingin mengabadikan kejadian ini. Dengan HP dan kamera yang kebetulan di bawanya, mereka memotret gerbong kereta yang tertinggal di belakang sana. Diantara penumpang yang sedang mengabadikan kejadian ini, saya melihat seorang warga keturunan jepang.
Sekitar satu jam kereta berhenti, petugas memerintahkan para penumpang yang berada di gerbong belakang (gerbong yang anjlok) untuk pindah ke gerbong depan. Beruntung, dari informasi para petugas dan penumpang lainnya, tidak ada korban jiwa, kecuali sedikit lecet-lecet dan terkilir. Setelah para penumpang pindah ke gerbong depan, kereta mulai melanjutkan perjalanan dan meninggalkan gerbong yang anjlok.
Karena sesaknya penumpang, udara di dalam gerbong sangat panas. Apalagi, AC yang bisa memberikan hawa sejuk, kini menjadi mati. Itu karena, Generator Listrik yang mensupplay listrik ke AC berada di Gerbong paling belakang, yang anjlok. Kereta tidak tidak lagi seperti kereta Eksekutif, kini tidak lebih seperti KRL ekonomi Bogor - Jakarta yang pernah saya tumpangi.
Karena insiden itu, petugas kereta menginformasikan kepada para penumpang ada pemotongan harga tiket. Menurutnya, uang pemotongan itu bisa diambil di stasiun Jatinegara atau Gambir. Besarnta uang pemotongan adalah Rp.25 ribu rupiah, sehingga tiketnya disamakan dengan harga kelas bisnis.
Dengan berdesak-desakan dan bercucuran keringat, akhirnya kereta sampai di Stasiun Gambir, sekitar pukul 18.30. Dan sayapun, menukarkan tiket untuk mendapatkan uang pengganti yang besarnya Rp 25 ribu.

Tidak ada komentar: