Ketika duduk di kelas satu SD (tahun 1983), saya masih merasakan membayar SPP (bayaran sekolah) sebesar Rp.100,- (seratus rupiah) per bulannya. Itu saya rasakan selama dua bulan. Pada bulan berikutnya, SPP naik menjadi Rp 250,- (kalo tidak salah). Selain relatif murah, waktu itu kepala sekolah membuat kebijakan yang meringankan dan membantu masyarakat. Seandainya, jika dalam satu keluarga ada dua orang yang sekolah di SD itu, kepala sekolah hanya memungut sebesar 1,5 kalinya (1,5x250=Rp375,-). Saya tidak tahu, kenapa kepala sekolah membuat kebijakan seperti itu? Saya juga tidak tahu, dari mana kekurangan uang, yang sebesar 0,5 kalinya itu di dapat. Yang saya tahu, kebijakan itu sangat membantu dan meringankan masyarakat. Ketika itu, saya melihatnya, jauh sekali dunia pendidikan dari kontaminasi dunia bisnis.
Kini, kondisinya sudah lain. Jangankan masuk SD, SMP, atau SMA, ingin masuk ke TK saja haru punya uang yang cukup tebel. Ini di rasakan oleh temen sepekerjaan saya. Tahun ini, dia telah mendaftarkan anaknya ke Taman Kanak-Kanak. Untuk kebutuhan administrasi dan biaya lainnya, temen saya itu harus mengeluarkan uang sebesar Rp450.000,00. Padahal itu hanya TK, apalagi kalo SD, SMP, atau SMA.
Pengalaman yang sama dialami juga oleh orang tua saya. Tahun ini, orang tua saya telah mendaftarkan adik saya ke sekolah SMP swasta. Dana awal yang harus dikeluarkannya cukup besar (untuk ukuran orang tua saya yang hanya PNS golongan IIb). Biaya yang harus dikeluarkan itu sebesar Rp.3.500.000,- (tiga juta lima ratus ribu rupiah). Uang sebesar itu, lebih besar dibanding biaya awal tahun waktu saya masuk kuliah, tahun 1996.
Mahalnya biaya pendidikan adalah sebuah realitas di negeri tercinta ini. Di satu sisi, pemerintah menuntut warganya untuk menempuh pendidikan setinggi mungkin. Di sisi lain, karena adanya kebijakan pemerintah, pendidikan di negeri ini makin mahal. Pencabutan subsidi BBM menyebabkan harga-harga kebutuhan pokok melejit naik, daya beli masyarakat kian menurun, dan jurang pemisah antara kaum miskin dan si kaya makin terbuka lebar.
Bagaimana masyarakat kita mau menyekolahkan anak-anaknya, kalo untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari saja masih susah? Pesan saya, pemerintah harus segera menghentikan korupsi masalnya, dan realisasikan 20% APBN untuk pendidikan. Kalo tidak, Indonesia akan tetap menjadi negara bodoh, tertinggal, kere, dan diinjak-injak oleh negara lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar