"Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatannya, agar mereka kembali (ke jalan yang benar) (QS:30:41)”.
Tidak dapat dipungkiri, sebagian besar kerusakan lingkungan hidup yang terjadi dewasa ini disebabkan oleh perilaku manusia. Hutan yang gundul, sungai yang menghitam dan berbau busuk, serta laut yang tercemar merupakan bukti nyata rusaknya lingkungan hidup. Padahal, hutan yang gundul dipastikan dapat memicu terjadinya banjir dan longsor di musim penghujan dan kekurangan air di musim kemarau. Sungai yang menghitam dan berbau busuk kerapkali mengganggu saluran pernapasan dan menjadi sarang berbagai penyakit yang siap menyerang manusia. Perairan laut yang tercemar dapat menyebabkan musnahnya berbagai biota laut, termasuk ikan, pada akhirnya merugikan para nelayan karena tangkapan ikannya menjadi berkurang.
Di Indonesia, kerusakan lingkungan hidup tampaknya akan bertambah parah. Ancaman kerusakan ini terkait dengan kebijakan pemerintah yang tidak berpihak terhadap kelestarian lingkungan hidup. Pada tahun 2004, pemerintah menerbitkan Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 1/2004 tentang Perizinan Pertambangan di Kawasan Lindung. Sebagai tindak lanjut dari Perpu tersebut, tiga tahun kemudian, pemerintah juga menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2008 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk Kepentingan Pembangunan di Luar Kegiatan Kehutanan yang Berlaku pada Departemen Kehutanan.
Padahal, hutan lindung merupakan kawasan hutan yang mutlak harus dipertahankan keberadaannya. Hutan lindung merupakan kawasan yang berfungsi menjaga sistem penyangga kehidupan, yakni mempertahankan kualitas dan kuantitas air serta mencegah areal sekitarnya dari erosi, longsor, dan banjir. Di wilayah pesisir pantai, hutan lindung sangat berguna mencegah abrasi dan intrusi serta menahan tiupan angin laut. Jadi, bila hutan lindung rusak, maka rusak pula kawasan sekitarnya sehingga banjir, longsor dan dan kekurangan air bersih sulit dihindari.
Perusakan lingkungan hidup oleh para pelaku/pihak dilakukan dengan berbagai dalih. Pemerintah melakukan kerusakan dengan dalih pembangunan. Masyarakat melakukan kerusakan dengan dalih untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Pengusaha melakukan pembukaan hutan lindung dengan dalih sudah memegang ijin dari pemerintah, ujung-ujungnya demi pembangunan. Sementara kelompok yang menyerukan pelestarian lingkungan hidup sering dianggap anti pembangunan.
Meski demikian, mungkinkah kerusakan lingkungan hidup yang terjadi saat ini dapat diatasi? Menurut Sonny Keraf (2002) dalam bukunya yang berjudul Etika Lingkungan, masalah lingkungan hidup adalah masalah moral, persoalan perilaku manusia. Persoalan lingkungan hidup bukan semata-mata persoalan teknis. Demikian pula, krisis ekologi global yang dialami dewasa ini adalah persoalan moral, krisis moral secara global. Oleh karena itu, perlu etika dan moralitas untuk mengatasinya.
Senada dengan pendapat Sonny Keraf, Arne Naess (1993) mengatakan, krisis lingkungan hanya bisa diatasi melakukan perubahan cara pandang dan perilaku manusia terhadap alam yang fundamental dan radikal. Adanya perubahan pola hidup atau gaya hidup ini tidak hanya menyangkut orang per orang, tetapi juga menyangkut budaya masyarakat secara keseluruhan. Artinya, dibutuhkan etika lingkungan hidup yang menuntun manusia untuk berinteraksi dalam alam semesta.
Beberapa etika yang sudah dikenal dan diharapkan mampu menjadi pegangan dalam mengatasi krisis lingkungan hidup adalah etika biosentris, ekosentris, hak asasi alam, dan ekofeminisme. Etika biosentris menjelaskan, tidak hanya manusia, alam juga mempunyai nilai pada dirinya sendiri lepas dari kepentingan manusia. Setiap kehidupan dan makhluk hidup mempunyai nilai dan berharga pada dirinya sendiri sehingga pantas mendapat pertimbangan dan kepedulian moral. Ringkasnya, etika biosentris mendasarkan moralitas pada keluhuran kehidupam, baik pada manusia maupun pada makhluk hidup lainnya. Sementara itu, etika ekosentrisme memusatkan etika pada seluruh komunitas ekologis, baik yang hidup maupun tidak. Secara ekologis, makhluk hidup dan benda-benda abiotis lainnya saling terkait satu sama lain. Oleh karena itu, kewajiban dan tanggung jawab moral tidak hanya dibatasi pada makhluk hidup. Kewajiban dan tanggung jawab moral yang sama juga berlaku terhadap semua realitas ekologis.
Pada perkembangan berikutnya, etika biosentris dan ekosentris telah mendorong munculnya etika hak asasi alam. Dasar etika hak asasi alam bisa dilihat dari keterkaitan antara pelaku moral dan subyek moral. Di alam semesta, manusia bertindak sebagai pelaku moral, sedangkan mahluk hidup selain manusia bertindak sebagai subyek moral. Sebagai subyek moral, makhluk hidup menuntut kewajiban dan tanggung jawab tertentu dari pelaku moral. Atas dasar ini, semua makhluk hidup tanpa kecuali mempunyai hak asasi untuk dihargai dan dijamin oleh pelaku moral. Tidak hanya mahluk hidup di luar manusia, benda abiotis juga memiliki hak asasi karena kehidupan organisme hidup sangat tergantung dari keutuhan benda-benda biotis.
Etika selanjutnya adalah ekofeminisme. Ekofeminisme bertujuan menggugah kesadaran manusia akan potensi perempuan dalam menyelamatkan lingkungan hidup. Ekofeminisme menganggap krisis ekologi tidak hanya disebabkan oleh cara pandang dan perilaku yang antroposentris, tetapi juga disebabkan adanya cara pandang dan perilaku yang androsentris: etika lingkungan yang berpusat pada laki-laki. Menurut ekofeminisme manusia tidak lebih unggul dari alam dan spesies lain, dan laki-laki tidak lebih unggul dari perempuan. Menurut ekofeminisme manusia merupakan bagian integral dari komunitas biotis, komunitas ekologis. Oleh karena itu, ekofeminisme menolak setiap cara berpikir yang mengunggulkan yang satu dan merendahkan yang lain--semata-mata karena hakikatnya sebagai manusia, alam, laki-laki, perempuan, ras, dan seterusnya.
Menurut Sonny Keraf (2002), keempat etika di atas melahirkan beberapa prinsip moral yang dapat dijadikan sebagai pegangan ketika berperilaku terhadap lingkungan hidup. Pertama, hormat terhadap alam (respect for nature). Manusia harus menghormati alam karena manusia merupakan bagian dari alam dan alam mempunyai nilai bagi dirinya sendiri. Terhadap benda mati, manusia pun harus menghormatinya karena semua benda yang berada di alam semesta ini mempunyai hak yang sama untuk berada, hidup dan berkembang. Kedua, tanggung jawab terhadap alam (moral responsibility for nature). Tuhan menciptakan semua benda yang berada dialam semesta ini dengan tujuannya masing-masing, terlepas dari apakah tujuan itu untuk kepentingan manusia atau tidak. Sebagai khalifah dan bagian dari alam semesta, manusia bertanggungjawab untuk menjaganya. Ketiga, solidaritas kosmis (cosmic solidarity). Dengan adanya pandangan bahwa manusia merupakan bagian dari alam dan kedudukannya sederajat dengan semua mahluk yang ada di alam ini, manusia hendaknya memiliki perasaan solider dan sepenanggungan dengan sesama mahluk lainnya. Manusia harus merasa sedih dan sakit ketika menyaksikan kondisi alam yang rusak dan mendapatkan mahluk hidup yang (terancam) punah.
Keempat, kasih sayang dan kepedulian terhadap alam (caring for nature). Prinsip kasih sayang dan kepedulian merupakan prinsip moral satu arah, tanpa mengharapkan balasan. Sebagai sesama anggota komunitas ekologis yang setara, manusia dituntut untuk mencintai, menyayangi dan peduli kepada alam beserta seluruh isinya tanpa diskriminasi dan dominasi. Sebagai sesama anggota komunitas ekologis, semua makhluk hidup mempunyai hak untuk dilindungi, dipelihara, tidak disakiti, dan dirawat. Kelima, tidak menyakiti/membahayakan alam (no harm). Dengan munculnya sikap solider dan peduli terhadap alam, manusia dituntut untuk tidak melakukan tindakan-tindakan yang merugikan atau mengancam keberadaan makhluk hidup lain di alam semesta ini sebagaimana manusia tidak dibenarkan secara moral untuk melakukan tindakan yang merugikan sesama manusia. Keenam, hidup sederhana dan selaras dengan alam. Krisis lingkungan hidup yang terjadi saat ini karena adanya pola dan gaya hidup manusia yang konsumtif, tamak, rakus, dan memandang alam sebagai obyek eksploitasi dan pemuas kepentingan hidup manusia. Sebagai bagian dari alam, manusia hendaknya memanfaatkan alam secara secukupnya. Oleh karena itu, prinsip hidup sederhana menjadi prinsip fundamental untuk menjaga keseimbangan ekologis.
Ketujuh, keadilan. Semua kelompok dan anggota masyarakat memiliki akses yang sama dalam merencanakan, mengelola, dan memanfaatkan sumberdaya alam. Pada akhirnya, semua kelompok dan anggota masyarakat juga harus secara proporsional menanggung beban rusaknya alam semesta akibat adanya pemanfaatan sumberdaya alam oleh manusia. Kedelapan, demokrasi. Demokrasi menjamin hak setiap orang dan kelompok masyarakat untuk memperjuangkan kepentingan, berpartisipasi dalam menentukan kebijakan dan mempunyai hak untuk mendapatkan informasi yang akurat di bidang lingkungan. Kesembilan, integritas moral. Prinsip ini terutama dimaksudkan untuk pejabat publik. Prinsip ini menuntut pejabat publik untuk tidak menyalahgunakan kekuasaanya demi kepentingan pribadi dan kelompok agar tidak merugikan masyarakat dan lingkungan hidup.
Tidak dapat dipungkiri, sebagian besar kerusakan lingkungan hidup yang terjadi dewasa ini disebabkan oleh perilaku manusia. Hutan yang gundul, sungai yang menghitam dan berbau busuk, serta laut yang tercemar merupakan bukti nyata rusaknya lingkungan hidup. Padahal, hutan yang gundul dipastikan dapat memicu terjadinya banjir dan longsor di musim penghujan dan kekurangan air di musim kemarau. Sungai yang menghitam dan berbau busuk kerapkali mengganggu saluran pernapasan dan menjadi sarang berbagai penyakit yang siap menyerang manusia. Perairan laut yang tercemar dapat menyebabkan musnahnya berbagai biota laut, termasuk ikan, pada akhirnya merugikan para nelayan karena tangkapan ikannya menjadi berkurang.
Di Indonesia, kerusakan lingkungan hidup tampaknya akan bertambah parah. Ancaman kerusakan ini terkait dengan kebijakan pemerintah yang tidak berpihak terhadap kelestarian lingkungan hidup. Pada tahun 2004, pemerintah menerbitkan Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 1/2004 tentang Perizinan Pertambangan di Kawasan Lindung. Sebagai tindak lanjut dari Perpu tersebut, tiga tahun kemudian, pemerintah juga menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2008 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk Kepentingan Pembangunan di Luar Kegiatan Kehutanan yang Berlaku pada Departemen Kehutanan.
Padahal, hutan lindung merupakan kawasan hutan yang mutlak harus dipertahankan keberadaannya. Hutan lindung merupakan kawasan yang berfungsi menjaga sistem penyangga kehidupan, yakni mempertahankan kualitas dan kuantitas air serta mencegah areal sekitarnya dari erosi, longsor, dan banjir. Di wilayah pesisir pantai, hutan lindung sangat berguna mencegah abrasi dan intrusi serta menahan tiupan angin laut. Jadi, bila hutan lindung rusak, maka rusak pula kawasan sekitarnya sehingga banjir, longsor dan dan kekurangan air bersih sulit dihindari.
Perusakan lingkungan hidup oleh para pelaku/pihak dilakukan dengan berbagai dalih. Pemerintah melakukan kerusakan dengan dalih pembangunan. Masyarakat melakukan kerusakan dengan dalih untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Pengusaha melakukan pembukaan hutan lindung dengan dalih sudah memegang ijin dari pemerintah, ujung-ujungnya demi pembangunan. Sementara kelompok yang menyerukan pelestarian lingkungan hidup sering dianggap anti pembangunan.
Meski demikian, mungkinkah kerusakan lingkungan hidup yang terjadi saat ini dapat diatasi? Menurut Sonny Keraf (2002) dalam bukunya yang berjudul Etika Lingkungan, masalah lingkungan hidup adalah masalah moral, persoalan perilaku manusia. Persoalan lingkungan hidup bukan semata-mata persoalan teknis. Demikian pula, krisis ekologi global yang dialami dewasa ini adalah persoalan moral, krisis moral secara global. Oleh karena itu, perlu etika dan moralitas untuk mengatasinya.
Senada dengan pendapat Sonny Keraf, Arne Naess (1993) mengatakan, krisis lingkungan hanya bisa diatasi melakukan perubahan cara pandang dan perilaku manusia terhadap alam yang fundamental dan radikal. Adanya perubahan pola hidup atau gaya hidup ini tidak hanya menyangkut orang per orang, tetapi juga menyangkut budaya masyarakat secara keseluruhan. Artinya, dibutuhkan etika lingkungan hidup yang menuntun manusia untuk berinteraksi dalam alam semesta.
Beberapa etika yang sudah dikenal dan diharapkan mampu menjadi pegangan dalam mengatasi krisis lingkungan hidup adalah etika biosentris, ekosentris, hak asasi alam, dan ekofeminisme. Etika biosentris menjelaskan, tidak hanya manusia, alam juga mempunyai nilai pada dirinya sendiri lepas dari kepentingan manusia. Setiap kehidupan dan makhluk hidup mempunyai nilai dan berharga pada dirinya sendiri sehingga pantas mendapat pertimbangan dan kepedulian moral. Ringkasnya, etika biosentris mendasarkan moralitas pada keluhuran kehidupam, baik pada manusia maupun pada makhluk hidup lainnya. Sementara itu, etika ekosentrisme memusatkan etika pada seluruh komunitas ekologis, baik yang hidup maupun tidak. Secara ekologis, makhluk hidup dan benda-benda abiotis lainnya saling terkait satu sama lain. Oleh karena itu, kewajiban dan tanggung jawab moral tidak hanya dibatasi pada makhluk hidup. Kewajiban dan tanggung jawab moral yang sama juga berlaku terhadap semua realitas ekologis.
Pada perkembangan berikutnya, etika biosentris dan ekosentris telah mendorong munculnya etika hak asasi alam. Dasar etika hak asasi alam bisa dilihat dari keterkaitan antara pelaku moral dan subyek moral. Di alam semesta, manusia bertindak sebagai pelaku moral, sedangkan mahluk hidup selain manusia bertindak sebagai subyek moral. Sebagai subyek moral, makhluk hidup menuntut kewajiban dan tanggung jawab tertentu dari pelaku moral. Atas dasar ini, semua makhluk hidup tanpa kecuali mempunyai hak asasi untuk dihargai dan dijamin oleh pelaku moral. Tidak hanya mahluk hidup di luar manusia, benda abiotis juga memiliki hak asasi karena kehidupan organisme hidup sangat tergantung dari keutuhan benda-benda biotis.
Etika selanjutnya adalah ekofeminisme. Ekofeminisme bertujuan menggugah kesadaran manusia akan potensi perempuan dalam menyelamatkan lingkungan hidup. Ekofeminisme menganggap krisis ekologi tidak hanya disebabkan oleh cara pandang dan perilaku yang antroposentris, tetapi juga disebabkan adanya cara pandang dan perilaku yang androsentris: etika lingkungan yang berpusat pada laki-laki. Menurut ekofeminisme manusia tidak lebih unggul dari alam dan spesies lain, dan laki-laki tidak lebih unggul dari perempuan. Menurut ekofeminisme manusia merupakan bagian integral dari komunitas biotis, komunitas ekologis. Oleh karena itu, ekofeminisme menolak setiap cara berpikir yang mengunggulkan yang satu dan merendahkan yang lain--semata-mata karena hakikatnya sebagai manusia, alam, laki-laki, perempuan, ras, dan seterusnya.
Menurut Sonny Keraf (2002), keempat etika di atas melahirkan beberapa prinsip moral yang dapat dijadikan sebagai pegangan ketika berperilaku terhadap lingkungan hidup. Pertama, hormat terhadap alam (respect for nature). Manusia harus menghormati alam karena manusia merupakan bagian dari alam dan alam mempunyai nilai bagi dirinya sendiri. Terhadap benda mati, manusia pun harus menghormatinya karena semua benda yang berada di alam semesta ini mempunyai hak yang sama untuk berada, hidup dan berkembang. Kedua, tanggung jawab terhadap alam (moral responsibility for nature). Tuhan menciptakan semua benda yang berada dialam semesta ini dengan tujuannya masing-masing, terlepas dari apakah tujuan itu untuk kepentingan manusia atau tidak. Sebagai khalifah dan bagian dari alam semesta, manusia bertanggungjawab untuk menjaganya. Ketiga, solidaritas kosmis (cosmic solidarity). Dengan adanya pandangan bahwa manusia merupakan bagian dari alam dan kedudukannya sederajat dengan semua mahluk yang ada di alam ini, manusia hendaknya memiliki perasaan solider dan sepenanggungan dengan sesama mahluk lainnya. Manusia harus merasa sedih dan sakit ketika menyaksikan kondisi alam yang rusak dan mendapatkan mahluk hidup yang (terancam) punah.
Keempat, kasih sayang dan kepedulian terhadap alam (caring for nature). Prinsip kasih sayang dan kepedulian merupakan prinsip moral satu arah, tanpa mengharapkan balasan. Sebagai sesama anggota komunitas ekologis yang setara, manusia dituntut untuk mencintai, menyayangi dan peduli kepada alam beserta seluruh isinya tanpa diskriminasi dan dominasi. Sebagai sesama anggota komunitas ekologis, semua makhluk hidup mempunyai hak untuk dilindungi, dipelihara, tidak disakiti, dan dirawat. Kelima, tidak menyakiti/membahayakan alam (no harm). Dengan munculnya sikap solider dan peduli terhadap alam, manusia dituntut untuk tidak melakukan tindakan-tindakan yang merugikan atau mengancam keberadaan makhluk hidup lain di alam semesta ini sebagaimana manusia tidak dibenarkan secara moral untuk melakukan tindakan yang merugikan sesama manusia. Keenam, hidup sederhana dan selaras dengan alam. Krisis lingkungan hidup yang terjadi saat ini karena adanya pola dan gaya hidup manusia yang konsumtif, tamak, rakus, dan memandang alam sebagai obyek eksploitasi dan pemuas kepentingan hidup manusia. Sebagai bagian dari alam, manusia hendaknya memanfaatkan alam secara secukupnya. Oleh karena itu, prinsip hidup sederhana menjadi prinsip fundamental untuk menjaga keseimbangan ekologis.
Ketujuh, keadilan. Semua kelompok dan anggota masyarakat memiliki akses yang sama dalam merencanakan, mengelola, dan memanfaatkan sumberdaya alam. Pada akhirnya, semua kelompok dan anggota masyarakat juga harus secara proporsional menanggung beban rusaknya alam semesta akibat adanya pemanfaatan sumberdaya alam oleh manusia. Kedelapan, demokrasi. Demokrasi menjamin hak setiap orang dan kelompok masyarakat untuk memperjuangkan kepentingan, berpartisipasi dalam menentukan kebijakan dan mempunyai hak untuk mendapatkan informasi yang akurat di bidang lingkungan. Kesembilan, integritas moral. Prinsip ini terutama dimaksudkan untuk pejabat publik. Prinsip ini menuntut pejabat publik untuk tidak menyalahgunakan kekuasaanya demi kepentingan pribadi dan kelompok agar tidak merugikan masyarakat dan lingkungan hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar